Sukses

Misteri di Balik Banyaknya Pendaki yang Tewas di Gunung Everest

Mengapa banyak pendaki yang meninggal di Gunung Everest?

Liputan6.com, Kathmandu - Antrean panjang pendaki di puncak Gunung Everest yang dingin, mungkin menjadi penyebab meninggalnya tujuh pendaki pada minggu ini, sebuah sumber berita melaporkan.

Kerumunan pendaki tersebut menyebabkan lalu lintas pendakian menjadi trek yang mematikan. Salah satu pendaki gunung yang tewas, Nihal Bagwan, 27 tahun dari India, dilaporkan terjebak dalam kemacetan itu selama lebih dari 12 jam. Ia diduga kelelahan.

"Seorang pemandu membawanya ke Camp 4, tetapi dia menghembuskan nafas terakhir di sana," kata Keshav Paudel, dari Peak Promotion, sebuah perusahaan yang menyelenggarakan tur di Gunung Everest, seperti dikutip dari Live Science, Minggu (26/5/2019).

Keletihan adalah risiko yang paling sering dihadapi oleh setiap pendaki. Tapi ada apa dengan Hmalaya, puncak Gunung Everest, yang penuh sesak dan menyebabkan beberapa orang kehilangan nyawa?

Jalur pendakian yang ramai manusia dan macet, membuat orang-orang harus menghabiskan lebih banyak waktu di ketinggian yang membebani tubuh mereka.

Namun jika mereka harus kembali ke tempat semula, di mana mereka mulai mendaki, hal itu akan memakan waktu lebih lama. Terlebih bila mereka dalam kondisi sakit, maka kemungkinan untuk mendapatkan penanganan medis yang cepat sangat minim.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Bahayanya Gunung Tertinggi di Dunia

Sebagai gunung tertinggi di dunia, puncak Everest berada di ketinggian 29.029 kaki (8.848 meter) di atas permukaan laut. Namun, pendaki bisa saja mulai mengalami penyakit gunung akut pada ketinggian lebih rendah dari 8.200 kaki (2.500 meter), kata Dr. Andrew Luks, seorang profesor di Division of Pulmonary, Critical Care and Sleep Medicine dari University of Washington School of Medicine.

Penyakit gunung akut (AMS) tidak fatal, tetapi gejalanya dapat membuat pendaki merasa payah. AMS memengaruhi hingga 77% pendaki yang mendaki hingga ketinggian antara 6.000 dan 19.300 kaki (1.850 dan 5.895 meter), Luks menulis dalam sebuah studi tahun 2015 di Journal of Applied Physiology.

Pendaki dengan AMS umumnya cenderung mengalami sakit kepala, tetapi juga dapat mengalami mual, muntah, lesu, dan pusing.

"AMS adalah bentuk paling ringan dari penyakit gunung akut," Luks mengatakan kepada Live Science. Hal ini dapat dicegah jika pendaki naik ke gunung secara perlahan (setelah mencapai 9.800 kaki, atau 3.000 meter), jangan memaksakan diri, dan minum obat acetazolamide (biasa diperdagangkan dengan nama Diamox) atau dexamethasone steroid anti-inflamasi.

Seseorang yang mengalami AMS harus segera menghentikan pendakiannya. Jika gejala tidak membaik dalam satu atau dua hari, saatnya untuk turun gunung, Luks menegaskan.

AMS yang lebih serius termasuk high-altitude cerebral edema (HACE) yang merupakan pembengkakan otak, dan high-altitude pulmonary edema (HAPE) yang merupakan penumpukan cairan di paru-paru. Kondisi ini jarang terjadi, tetapi bisa mematikan.

Sebagai contoh, HACE mempengaruhi kurang dari 1% orang untuk mendaki di atas 9.800 kaki. Begitu otak seseorang membengkak, keseimbangan atau koordinasi mereka jadi terganggu, kondisi mental yang berubah, atau merasa sangat lelah. Mereka bahkan bisa koma.

Orang dengan HACE harus turun sesegera mungkin dan jika perlu, diberikan oksigen tambahan, meminum deksametason atau dimasukkan ke dalam ruang hiperbarik portabel.

Sementara itu, HAPE memengaruhi hingga 8% pendaki antara 8.200 dan 18.000 kaki (2.500 dan 5500 meter). Jika cairan menumpuk di paru-paru, ini bisa menyebabkan pendaki bergerak lebih lambat dan mengalami batuk, kadang-kadang dengan dahak berbuih berwarna merah muda.

Terlebih lagi, mereka juga menderita radang dingin, hipotermia dan kelelahan.

3 dari 3 halaman

Trek yang Mematikan

Ketika pendaki gunung sedang mengantri di jalur pendakian, mereka tidak makan, minum atau tidur. Mereka juga menggunakan persediaan oksigen yang berharga, jika mereka memilih untuk membawa tabung oksigen tambahan dan mencegah sedini mungkin agar tidak membeku.

"Mereka cukup sering, meskipun tidak selalu, menginvestasikan sejumlah besar uang dan waktu dalam upaya pendakian mematikan ini," ujar Luks. "Dan pada hari ketika kondisi cuaca bagus, Anda dapat membayangkan akan sangat sulit untuk meyakinkan seseorang agar mau berbalik karena antrean di jalur pendakian sangat panjang."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.