Sukses

Bos WikiLeaks Terancam Bui 175 Tahun Terkait Kasus Spionase di AS

Pendiri WikiLeaks dijatuhi dakwaan baru atas tuduhan Espionage Act atau terkait kasus spionase.

Liputan6.com, London - Bos WikiLeaks, Julian Assange, dituntut dengan 17 dakwaan baru di bawah Undang-Undang Spionase. Sanksi itu terkait perannya dalam mendorong, menerima, dan menerbitkan informasi Departemen Pertahanan AS secara tidak sah, bersama dengan mantan analis intelijen Angkatan Darat Chelsea Manning, yang menyiapkan pertempuran hukum besar atas perlindungan Amandemen Pertama di Amerika. Era Donald Trump.

CNN pada Jumat (24/5/2019) melaporkan, surat berisi 18 butir dakwaan baru yang diputuskan di Distrik Timur Virginia menuduh bahwa Assange secara aktif meminta informasi rahasia, memerintahkan Manning untuk mendapatkan ribuan halaman materi rahasia dan memberikan Assange dengan kabel diplomatik Departemen Luar Negeri, laporan dan informasi kegiatan penting terkait perang Irak terkait dengan tahanan Teluk Guantanamo.

Sebelumnya pada bulan April, jaksa penuntut di Virginia mengungkapkan bahwa Assange telah didakwa dengan satu tuduhan konspirasi untuk melakukan intrusi komputer terkait upaya membantu Manning mendapatkan akses ke komputer Departemen Pertahanan pada 2010.

Menurut The Guardian, bos WikiLeaks itu terancam hukuman maksimal 175 tahun penjara di AS jika dinyatakan bersalah atas semua tuduhan terhadapnya.

WikiLeaks menanggapi berita tentang dakwaan itu dalam sebuah twit. "Ini adalah kegilaan. Ini adalah akhir dari jurnalisme keamanan nasional dan amandemen pertama."

Namun para pejabat Departemen Kehakiman berusaha untuk mengecilkan analogi apa pun antara Assange dan seorang reporter berita, menekankan bagaimana ia menerbitkan nama-nama sumber daya manusia rahasia yang berpotensi menimbulkan risiko bahaya yang serius. Dia juga diduga bersekongkol dengan Manning untuk memecahkan kata sandi Departemen Pertahanan.

"Julian Assange bukan jurnalis," kata Asisten Jaksa Agung John Demers, yang mengepalai divisi keamanan nasional departemen.

"Amerika Serikat belum mendakwa Assange karena secara pasif memperoleh atau menerima informasi rahasia," kata pengacara EDVA AS Zach Terwilliger. "Assange tidak didakwa hanya karena dia yang menerbitkan."

Namun, ketika ditanya apakah ada yang terbunuh karena apa publikasi berbahaya WikiLeaks, seorang pejabat senior Departemen Kehakiman yang berbicara anonim mengatakan bahwa tanggungan pemerintah hanya untuk menetapkan "potensi" bahaya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Swedia Buka Kasus Terkait Kekerasan Seksual

Sebelumnya, Kejaksaan Swedia membuka kembali kasus pemerkosaan dengan tertuduh pendiri WikiLeaks, Julian Assange.

Berbicara kepada wartawan pada Senin 13 Mei 2019 di Stockholm, Eva-Marie Persson, wakil direktur jaksa umum mengatakan, "masih ada sebab-sebab yang memungkinkan Julian Assangediduga melakukan pemerkosaan'' dan menurut penilaiannya "diperlukan interogasi baru terhadap Assange," demikian seperti dilansir VOA Indonesia, Selasa 14 Mei 2019.

Persson mengatakan, kondisi kini memungkinkan untuk mengekstradisi Assange dari Inggris.

Namun menurut Persson, Inggris harus memutuskan apakah akan mengekstradisi Julian Assange ke Swedia atau ke Amerika Serikat di mana ia dicari karena diduga meretas komputer Kementerian Pertahanan AS.

Menanggapi keputusan Swedia, pemimpin redaksi WikiLeaks Kristinn Hrafnsson dalam sebuah pernyataan mengatakan, "dibukanya kembali kasus ini akan memberi Assange kesempatan untuk membersihkan namanya."

"Sejak Julian Assange ditangkap pada 11 April 2019, ada tekanan politik yang besar terhadap Swedia untuk membuka kembali penyelidikan mereka, tetapi selalu ada tekanan politik di sekitar kasus ini," kata Hrafnsson.

Jaksa Swedia pertama kali mengajukan gugatan terhadap Assange pada tahun 2010.

Penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran seksual itu, tujuh tahun kemudian dibatalkan setelah Assange melarikan diri ke kedutaan Ekuador dan batas waktu gugatan hukumnya kemudian berakhir.

Batas untuk membuka kembali kasus perkosaan itu berakhir pada Agustus 2020, di mana penyelidikan akan dihentikan jika tidak mencapai kesimpulan.

3 dari 3 halaman

Sanksi Penjara 50 Pekan

Sementara itu, saat ini bos WikiLeaks, Julian Assange dijatuhi hukuman penjara selama 50 pekan oleh pengadilan Inggris pada Rabu, 2 Mei 2019.

Hukuman tersebut dijatuhkan kepada Assange setelah dinyatakan bersalah melanggar undang-undang yang disebut Bail Act, demikian dikutip dari laman BBC, Rabu 2 Mei 2019. Ia dianggap melanggar kondisi jaminan ketika memasuki Kedutaan Besar Ekuador di Inggris untuk menghindari ekstradisi ke Swedia tahun 2012 lalu.

Pria berusia 47 tahun itu mencari suaka di Kedutaan Besar Ekuador di Inggris untuk menghindari ekstradisi ke Swedia atas tuduhan kekerasan seksual.

Dalam sebuah surat yang dibacakan di pengadilan, Assange mengatakan bahwa dirinya telah "berjuang dengan keadaan sulit".

"Saya melakukan apa yang saya pikir pada saat itu adalah yang terbaik dan mungkin satu-satunya cara yang bisa saya lakukan," ujar Julian Assange.

Pengacaranya, Mark Summers QC mengatakan kliennya "dicekam" oleh kekhawatiran rendisi ke AS selama bertahun-tahun karena pekerjaannya dengan situs WikiLeaks.

"Ketika ancaman dari Amerika menghujaninya, ia membayangi segala hal buruk,"ujar Summers.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Inggris pernah meyakinkan Presiden Ekuador Lenin Moreno bahwa Julian Assange, tidak akan diekstradisi ke negara yang memberlakukan hukuman mati.

Dalam sebuah surat yang ditandatangani oleh Menlu Inggris Jeremy Hunt, dan pendahulunya Boris Johnson, masing-masing bertanggal 7 Maret 2018 dan 10 Agustus 2018, diketahui bahwa menurut undang-undang Inggris seseorang tidak dapat diekstradisi jika terancam hukuman mati, merujuk secara implisit kepada nasib bos WikiLeaks itu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini