Sukses

Kengerian Bom Perang Dunia II, Getaran Terasa Sampai Tepian Angkasa Luar

Seorang keturunan dari korban bom Perang Dunia II melakukan penelitian dan menyatakan bahwa getaran bom pertempuran dahsyat itu terasa hingga angkasa luar.

Liputan6.com, Berlin - Sudah 73 tahun berlalu sejak Perang Dunia II berakhir pada 2 September 1945 (mulai pada 1 September 1939), namun dampak dari pengeboman hebat pertempuran akbar itu masih terasa di seluruh dunia.

Seorang warga negara Inggris, Christopher Scott, mengisahkan bahwa dua bibinya tewas ketika peristiwa The Blitz terjadi di negaranya --serangkaian pengeboman strategis berkelanjutan terhadap Inggris, Skotlandia dan Irlandia Utara (Britania Raya secara keseluruhan) yang dilancarkan Jerman saat Perang Dunia II pada 7 September 1940 hingga Mei 1941.

Kala itu, kedua bibi Scott masih kanak-kanak, masing-masing berumur 9 dan 11 tahun. Namun Scott tidak akan menceritakan lebih lanjut tentang kerabatnya. Ia justru menegaskan bahwa efek dari bom Perang Dunia II terasa hingga tepian angkasa luar. Demikian menurutnya, seperti dikutip dari Live Science, Jumat (28/9/2018).

Lalu, bagaimana ia bisa tahu tentang fenomena itu? Rupanya, Scott merupakan ahli fisika antarikasa dan atmosferik di University of Reading di Inggris. Dengan menyisir data arsip, Scott menemukan bahwa gelombang kejut dari bom secara singkat melemahkan ionosfer --lapisan terluar atmosfer Bumi.

Dari Kilat hingga Bom

Dalam jarak sekitar 50 dan 375 mil (80 dan 600 kilometer) di atas tanah, ionosfer adalah tempat aurora muncul dan tempat astronot berada di atas Stasiun Angkasa Luar Internasional (International Space Station).

Atom-atom gas di lapisan atmosfer menjadi berhamburan karena radiasi matahari, sehingga membentuk ion bermuatan listrik. Kepadatan dan ketinggian elektron --partikel bermuatan negatif-- di ionosfer dapat berfluktuasi.

Penelitian Scott sebelumnya telah menunjukkan bahwa petir dapat meningkatkan ionosfer. Ia mencari tahu penyebab naiknya ionosfer yang kemungkinan disebabkan oleh energi petir yang meledak atau muatan listrik yang terkandung dalam petir. Jadi, ia mulai mencari bekas ledakan The Blitz di Britania Raya.

Selain itu, ia juga hendak membandingkan data historis dengan data arsip dari Pusat Penelitian Radio (Radio Research Centre) di Slough, di mana para ilmuwan telah mengukur kepadatan ionosfer menggunakan pulsa radio yang dikirim melalui berbagai frekuensi gelombang pendek.

Scott mengatakan, ia awalnya bermaksud untuk melihat efek dari The Blitz, tetapi hanya ada sedikit informasi yang ia dapatkan terkait waktu dan amunisi yang digunakan dalam serangan tersebut.

Sebagai alternatif, kolega Scott, Patrick Major, seorang sejarawan di University of Reading, menyediakan database tentang pemboman Berlin antara 1943 dan 1944. Major juga mengarahkan Scott ke data lain tentang serangan udara Sekutu di Eropa.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Gelombang Kejut

Scot memaparkan, setiap serangan bom mengeluarkan energi setidaknya 300 gemuruh petir. Kekuatan tersebut hanya bisa dikeluarkan oleh bom "kelas kakap" Grand Slam Inggris yang berbobot 10.000 kilogram. Rudal maut ini digunakan oleh Komando Pengebom RAF (Royal Air Force) terhadap target-target strategis.

"Penduduk di bawah bom akan secara rutin mengingat dilemparkan melalui udara oleh gelombang tekanan dari ledakan-ledakan udara yang meledak, dan jendela-jendela dan pintu-pintu akan dilepaskan dari engsel mereka," kata Mayor dalam rilis berita.

Ketika para peneliti melihat rekam jejak dari respons-ionosfer (ionosphere-respons). yang berasal dari 152 serangan udara besar-besaran dari Sekutu di Eropa, mereka menemukan bahwa konsentrasi elektron menurun secara signifikan karena gelombang kejut dari bom. Penemuan ini lantas dipublikasikan pada 25 September) 2018 dalam jurnal Annales Geophysicae.

"Saya bisa melihat efek itu melalui rekam jejak ionosfer Inggris, dari pemboman lebih dari 1.000 km," kata Scott. "Saya terkejut dengan hasilnya."

Efek dari gelombang kejut akan bersifat sementara, yang hanya berlangsung kurang dari satu hari.

"Ionosfer sebagian besar dikendalikan oleh radiasi matahari. Pemboman itu merepresentasikan dampak kecil dengan perbandingan tersebut," papar Scott.

Scott menambahkan bahwa melemahnya ionosfer dapat mempengaruhi efisiensi komunikasi radio gelombang pendek, yang bergantung pada ionosfer untuk mencerminkan sinyal jarak jauh. Sedangkan teknologi modern, seperti GPS, dipengaruhi oleh gangguan di ionosfer.

Studi lain, yang diterbitkan awal tahun ini, menemukan bahwa gelombang kejut besar dari peluncuran roket SpaceX Falcon 9 pada tahun 2017 menciptakan lubang di ionosfer, yang mungkin telah mengganggu sinyal navigasi selama satu atau dua jam sesudahnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.