Sukses

HEADLINE: 128 Negara PBB Melawan, Donald Trump Wujudkan Ancaman?

Jelang sidang luar biasa Majelis Umum PBB soal Yerusalem, Donald Trump menebar ancaman kepada negara yang menentangnya. Ternyata tak mempan.

Liputan6.com, New York - Donald Trump mengeluarkan ultimatum: barang siapa bernyali menjegal keputusannya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, akan mendapatkan murka Sang Presiden Amerika Serikat. Namun, ancamannya tak mempan.

Dalam sidang darurat Majelis Umum PBB pada Kamis 21 Desember 2017, 128 dari 193 negara menentang keputusan Trump soal Yerusalem. Hanya sembilan negara yang mendukung, termasuk Israel. Sementara, 35 lainnya memilih abstain.

Hasil voting yang meloloskan rancangan resolusi PBB tersebut menjadi pukulan buat Donald Trump. Sejumlah sekutu dekatnya tak berada di pihaknya. Jepang dan Korea Selatan, misalnya, soal Yerusalem satu suara dengan Korea Utara yang jadi musuh bebuyutan.

Bahkan sejak awal, ancamannya tak bikin gentar. Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern terang-terangan melawan. Ia tak sudi diintimidasi.

"Saya akan menekan balik, dengan menegaskan, Selandia Baru telah dan akan selalu memiliki kebijakan luar negeri yang independen," kata dia, seperti dikutip dari situs tvnz.co.nz, Kamis (21/12/2017).

Perempuan 37 tahun tersebut menegaskan, apapun keputusan yang diambil negaranya dalam sidang luar biasa Majelis Umum PBB pada Kamis 21 Desember 2017 waktu New Yok, didasarkan pada prinsip. "Bukan bullying (perisakan)," kata dia. 

Sejak awal, PM Ardern bersikap kritis terhadap keputusan sepihak Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan akan memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat ke sana. "Itu akan membuat kian sulit mewujudkan perdamaian," kata dia.

Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan balas memperingatkan Donald Trump. Menurutnya, ancaman miliarder nyentrik itu tak akan menggoyahkan sikap negaranya.

"Saya berharap, AS tak akan mendapatkan apa yang mereka inginkan (dalam sidang PBB). Dunia akan memberikan pelajaran berharga untuk Amerika," kata Erdogan dalam pidatonya di Ankara, seperti dikutip dari Russian Today (RT). 

Ancaman Donald Trump ditujukan pada negara-negara penerima dana bantuan AS, jelang sidang luar biasa Majelis Umum PBB yang mengagendakan voting terkait resolusi yang menolak pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Kamis, 21 Desember waktu New York.

Draf resolusi tak menyebut nama Amerika Serikat. Namun, di sana tertulis bahwa setiap putusan terkait Yerusalem harus dibatalkan.

"Biarkan mereka memilih untuk melawan. Kita justru akan banyak menghemat. Jangan pedulikan," kata Trump dalam rapat kabinet terakhir yang digelar pada tahun 2017, seperti dikutip dari BBC. 

Ia mengancam akan menghentikan bantuan senilai miliaran dolar untuk negara-negara yang menentang keputusannya. Total ada 193 negara yang ikut dalam pemungutan suara.

Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki dan koleganya dari Turki, Mevlut Cavusoglu, menuduh AS melakukan intimidasi.

"Kami melihat bahwa Amerika Serikat, yang ditinggalkan sendirian, sekarang beralih mengancam. Tidak ada negara terhormat dan bermartabat yang tunduk pada tekanan ini," kata Cavusoglu dalam sebuah konferensi pers bersama di Ankara.

Sementara, Duta Besar Bolivia untuk PBB, Sacha Llorenty dikabarkan menghampiri Dubes AS Nikki Haley.

Ia meminta nama negaranya menjadi yang pertama ditulis dalam catatan hitam sang Dubes: sebagai penentang keputusan Donald Trump.

Sebelumnya, Nikki Haley -- melalui sebuah surat kepada para Duta Besar PBB, termasuk diplomat asal Eropa lebih dulu mengeluarkan ultimatum.

Dalam suratnya, Haley menulis, "Presiden akan menyimak pemungutan suara dengan saksama dan meminta saya melaporkan padanya siapa saja yang telah melawan kami".

AS telah lebih dulu memveto rancangan resolusi soal Yerusalem di Dewan Keamanan PBB. Dari 15 total anggota DK PBB, hanya Negeri Paman Sam satu-satunya negara yang bersikukuh mempertahankan klaim Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Skor akhir 1 melawan 14. 

Sejumlah negara anggota Dewan Keamanan PBB seperti Rusia, China, dan Prancis menolak kebijakan AS. Pun dengan dua sekutu dekat Washington DC, Jepang dan Inggris. 

Resolusi terbaru yang diloloskan di Majelis Umum PBB sangat mirip dengan yang digagas di forum DK PBB. Yang berbeda hanya, di Majelis Umum PBB, penggunaan hak veto tidak berlaku.

Resolusi tersebut menegaskan kembali 10 resolusi DK PBB sebelumnya, termasuk yang menyebutkan bahwa status akhir Yerusalem harus diputuskan dalam perundingan langsung antara Palestina dan Israel.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Diplomasi Gaya Preman ala Donald Trump

Tekanan Amerika Serikat tak akan berdampak sesuai apa yang diharapkan Washington.

"Membuatnya personal, seakan pemungutan suara untuk mendukung atau melawan Presiden Donald Trump, adalah taktik bodoh yang aneh," kata Richard Gowan, seorang pakar PBB di European Council on Foreign Relations seperti dikutip dari CNN.

Sementara, seorang diplomat asing senior, yang memilih anonim dengan alasan demi menjaga hubungan baik dengan AS mengatakan, "Tak peduli seberapa dekat kami dengan Washington, kami ingin mempertahankan resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai status Yerusalem."

Dia menambahkan, bagi banyak anggota PBB, terutama dari Barat, suara mereka mencerminkan posisi yang sudah dipertahankan selama 50 tahun.

"Yakni, mendukung solusi dua negara, penentuan status Yerusalem melalui negosiasi," kata dia.

Diplomat tersebut menambahkan bahwa tekanan AS justru dapat membuat Washington terisolasi jika membutuhkan dukungan PBB untuk isu-isu seperti Korea Utara atau Iran.

Sementara, Nick Bisley, profesor di School of Social Sciences di La Trobe University mengatakan, sikap yang dipertontonkan Trump dan Haley sangat kasar dan tidak canggih.

"Mereka meresponsnya secara jangka pendek dan reaktif, dan tidak melihat bagaimana dampak negatifnya bagi pengaruh global," kata dia.

Bagaimana dengan sikap Indonesia?

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang menjalin relasi baik dengan Amerika Serikat.

Sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah dana dengan rerata nilai ratusan juta dolar digelontorkan oleh AS untuk Indonesia melalui sejumlah program bantuan sosial-kemanusiaan.

Pengamat Timur Tengah, Zuhairi Misrawi mengatakan, meski ancaman itu muncul, Indonesia harus tetap pada komitmen untuk menolak kebijakan Trump dan mendorong kemerdekaan Palestina.

"Indonesia, seperti info yang saya terima dari Ibu Menlu RI, tetap akan menjadi co-sponsor dalam menolak kebijakan Trump," kata Zuhairi kepada Liputan6.com, Kamis 21 Desember 2017.

"Sebagai negara berdaulat, perjuangan itu harus terus didorong. Apalagi selaras dengan perjuangan Indonesia sejak KTT Asia-Afrika. Kita terus bersama dengan rakyat Palestina," tambahnya.

Terkait posisi Indonesia, Peneliti LIPI Hamdan Basyar melanjutkan, "Indonesia harus tetap berkomitmen dengan sikapnya selama ini. Dan tak perlu khawatir jika AS memutus bantuan ke Indonesia. Karena kita kan menganut paham politik luar negeri bebas-aktif, kita bisa mendekat ke siapa saja," tambahnya.

"RI memang punya kepentingan dengan AS, tapi kan Indonesia masih punya suara sendiri," lanjutnya.

Dan benar saja, dalam sidang darurat Majelis Umum PBB, Indonesia masuk dalam daftar 128 negara yang menentang pengakuan Trump atas Yerusalem.

Bukti Kediktatoran Donald Trump?

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengomentari sisi lain dari retorika Presiden AS Donald Trump.

Menurutnya langkah yang diambil Trump kala menebar ancaman menjelang sidang darurat Majelis Umum PBB merupakan cerminan sifat kediktatoran Negeri Paman Sam dalam menyikapi isu Yerusalem.

"Ternyata Amerika Serikat melakukan tindakan berupa mengancam negara-negara yang nantinya akan menyetujui, seakan-akan mau memberikan sanksi kepada mereka yang menolak resolusi itu," kata Hikmahanto Juwana kepada Liputan6.com, Kamis 21 Desember 2017.

"Nah tercermin pada hal itu, Amerika Serikat pada masa kepemimpinan Donald Trump menjadi diktator," tambahnya.

Hikmahanto melanjutkan, sikap Presiden Trump justru membiarkan demokrasi tak bekerja di Sidang Umum PBB.

"Karena kan ini saling lobi. Kalau mau ya idealnya saling lobi, tapi seharusnya tidak boleh mengancam seperti yang dilakukan AS," tambahnya.

Sedangkan Hamdan Basyar menambahkan, "Karena demokrasi itu kan melihat suara mayoritas ya. Malah kalau AS tak mengindahkan ketentuan itu, patut dikatakan kalau mereka justru menganut demokrasi gaya preman ya, bisanya hanya mengancam dan kalau kalah voting akhirnya mengancam lagi, itu kan kaya demokrasi preman."

"Demokrasi itu kan harus menjadi good winners, good losers ya. Jadi, jangan kalau mereka kalah, bisanya cuma mengancam," tambahnya.

3 dari 3 halaman

Negara Paling Rentan Ancaman Trump

Donald Trump dinilai sedang melakukan 'diplomasi panik' atau frantic diplomacy. Ia mengancam akan memutus bantuan senilai jutaan hingga miliaran dolar kepada negara penerima donor.

Afrika, Timur Tengah, Asia dan Amerika Latin adalah kawasan di mana sejumlah negaranya menerima donor dari AS.

Ironisnya, salah satu yang paling rentan terhadap tekanan keuangan AS, juga paling tidak mungkin melawan kehendak Washington adalah Israel.

Seperti dikutip dari CNN, pada tahun 2016, Israel menerima US$ 3,1 miliar dana militer dari AS, demikian menurut United States Agency for International Development (USAID).

Pun dengan Mesir, yang merancang resolusi soal Yerusalem di Dewan Keamanan PBB. Tahun lalu, Negeri Piramida itu menerima bantuan dari AS senilai US$ 1,2 miliar.

Seperti dikutip dari ABC Australia, untuk Afrika dan Timur Tengah, sejumlah negara-negara yang menerima kucuran fulus dari AS meliputi;

1. Afghanistan (US$ 650 juta)

2. Yordania  (US$ 635,8 juta)

3. Kenya (US$ 632,5 juta)

4. Tanzania (US$ 534,5 juta)

5. Uganda (US$ 435,5 juta)

6. Zambia (US$ 428,5 juta)

7. Nigeria (US$ 413, 3 juta)

8. Irak (sekitar US$ 380 juta)

9. Mesir (sekitar US$ 100 juta)

Beberapa negara lain meliputi, Pakistan, Filipina, Ukraina, Kolombia, Sudan Selatan, Suriah dan Republik Demokratik Kongo. Rata-rata dana yang digelontorkan AS kepada negara-negara tersebut senilai US$ 100 juta.

Sebagian besar dana itu dikucurkan untuk sektor militer dan angkatan bersenjata. Sejumlah besar fulus juga digelontorkan untuk bantuan pada sektor lain, seperti bantuan kemanusiaan lewat USAID.

Kendati demikian, yang menjadi pertanyaan adalah, seberapa signifikan ancaman tersebut bagi negara-negara yang bersangkutan?

Seperti dikutip dari CNN, sesungguhnya ancaman yang dimuntahkan oleh Trump cukup memberikan pengaruh besar terhadap negara yang tengah dirundung konflik dan membutuhkan bantuan.

Namun, menurut profesor di School of Social Sciences di La Trobe University, Nick Bisley, langkah AS untuk memutus dana itu justru akan membuka peluang bagi China dan Rusia untuk menanamkan pengaruhnya pada negara-negara tersebut.

"Jika AS menindaklanjuti ancaman tersebut, maka negara-negara itu akan mendekat ke China, di mana Beijing sedang sangat ingin untuk memperbanyak teman dan memperluas pengaruhnya di dunia," kata Bisley.

Meski begitu, Bisley menyebut bahwa sulit untuk menilai ancaman Haley dan Trump, serta apakah mereka mampu menindaklanjuti retorika ultimatum tersebut dengan tekanan diplomatik di belakang layar. Ancaman Trump juga akan berpengaruh pada PBB. 

Pada tahun 2016, AS masih menjadi donor terbesar untuk PBB, memberikan kontribusi lebih dari US$ 10 miliar atau sekitar seperlima dari anggaran kolektifnya -- termasuk US$ 2,4 miliar untuk operasi pemelihara perdamaian PBB.

Lewat USAID, pada 2016, AS menyediakan bantuan ekonomi dan militer sebesar US$ 13 miliar untuk negara-negara di Afrika sub-Sahara dan US$ 1,6 miliar untuk negara-negara di Asia Timur dan Oseania.

Washington juga mengucurkan bantuan US$ 13 miliar ke negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara, US$ 6,7 miliar ke negara-negara di Asia Selatan dan Tengah, US$ 1,5 miliar ke negara-negara di Eropa dan Eurasia dan US$ 2,2 miliar ke negara-negara di belahan bumi barat (western hemisphere).

Memindahkan Kedutaan AS ke Yerusalem bukanlah seperti membuat keputusan di sektor properti yang tak diragukan lagi telah menjadi keahlian Trump.

Dan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, bagaimana pun, tak akan mendukung proses perdamaian di Timur Tengah.

Keputusan AS bahkan dinilai dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi Arab Saudi, salah satu sekutu terdekat AS di Timur Tengah.

Tak hanya itu, AS juga terancam terpisah dari sekutu-sekutunya di Eropa, yang mengampanyekan solusi dua negara selama 40 tahun terakhir. Tak hanya negara-negara yang butuh bantuan, PBB bahkan Amerika Serikat bisa merugi akibat keputusan Donald Trump.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.