Sukses

Penelitian Austria dan NU: Propaganda Terorisme Makin Berbahaya

Menurut data dari Austria, setiap hari ISIS membuat dua video propaganda yang disebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Hasil penelitian pemerintah Austria bekerja sama dengan Nahdlatul Ulama (NU) tentang bahaya propaganda ekstremis di Indonesia menghasilkan data yang mencengangkan.

Menurut Yahya Cholil, Sekjen NU, pihaknya setiap hari menyebar publikasi tentang bahaya radikalisme di media. Meski begitu, tim publikasi dari NU belum dapat sepenuhnya menampung serangan propaganda tersebut yang datang dari dalam, luar negeri, dan jutaan posting-an Twitter dan Facebook setiap harinya.

"Kita tiap hari tak hanya di pesantren, tapi di pengajian kampung bahas bahaya ekstremis. Aktivis buat sanggahan di internet seperti Ahmad Sahal, Ulil," ujarnya usai diskusi bahaya teroris di Kedubes Austria, Jakarta (24/3/2016).

 

Yahya mengakui pemerintah Indonesia tak serius menangani paham radikal di Indonesia. Padahal, kelompok teroris itu telah berulang kali menebar teror. Aksi paling anyar yang dilakukan jaringan ISIS di Indonesia terjadi pada Januari lalu. Saat itu bom meledak di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, merenggut delapan nyawa dan melukai 26 orang.

"Sementara ini kita sadarkan pemerintah bahwa ini bahaya, biar mereka mengambil sikap. Pemerintah tidak paham dan malas mengambil sikap," ujar Yahya.

Menurut data dari Vortex (Viennese Observatory for Applied Research in Terrorism and Extremism) setiap harinya ISIS membuat dua video propaganda yang disebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

"Video mereka kualitasnya sama seperti film Barat, sementara kita belum mampu membuat rekaman seperti itu," ujar Yahya.

Sebelumnya, NU bersama aktivis internet NU dan Vortex memulai penelitian di Universitas Wina dan pesantren-pesantren di Jawa Tengah sejak Oktober 2015.

Komitmen Libas Terorisme di Indonesia

NU juga menegaskan pihaknya sangat mendukung penelitian tersebut untuk mengembalikan citra Islam, yakni Islam yang cinta damai. "Karena Islam rahmatan lil al-alamin," ujar Yahya.

Untuk menghentikan hegemoni ISIS di internet dan propaganda ekstremis lain, Vortex dan NU berupaya memobilisasi suara Islam moderat di internet, salah satunya dengan membentuk sekumpulan aktivis internet NU.

"Karena kita Indonesia menjunjung Pancasila. Bukan Islam radikal," ucap Yahya.

Hasil dari penelitian tersebut sangat mencengangkan. Peneliti Vortex Nico Prucha menyebutkan data tingginya propaganda kelompok teroris di media sosial: di Twitter ada 3,4 juta ocehan, 3,3 juta akun dan 1,8 juta situs teror.

"Angka itu jumlah yang cukup mencengangkan dan sebagian besar dari ISIS," ujar Nico.

"Selain Twitter dan Facebook, YouTube merupakan media yang paling berpengaruh dalam penyebaran kebencian dan radikalisme," demikian hasil penelitian tersebut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.