Sukses

Ketua KND: Perempuan Disabilitas Mengalami Diskriminasi Berlapis

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Komisi Nasional Disabilitas (KND) Dante Rigmalia menyampaikan bahwa perempuan penyandang disabilitas kerap mengalami diskriminasi berlapis. Hal ini dikarenakan adanya stigma terkait gender dan terkait kondisi disabilitas itu sendiri.

“Sehingga perempuan disabilitas mengalami berbagai kerentanan terkait dengan kemiskinan, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, kesehatan, dan hubungan keluarga,” ujar Dante dalam W20 4th Plenary Event Inclusive Economic Growth to Build Resilience: Focus on Rural Women and Women with Disabilities Rabu (8/6/2022).

Ia menambahkan, stigma merupakan masalah terbesar yang dialami oleh perempuan dengan disabilitas. Bahkan, perempuan dengan disabilitas dianggap aseksual, tidak dapat menikah, tidak mampu melahirkan anak, tidak mampu mengurus keluarga. Mereka juga dianggap belum bisa mengenyam pendidikan formal dan tidak bisa mendapat pekerjaan.

Stigma ini banyak dialami oleh perempuan penyandang disabilitas baik yang tinggal di kota maupun yang bermukim di desa.

“Perempuan penyandang disabilitas yang bermukim di pedesaan ikut mengalami tantangan yang sangat besar.”

Maka dari itu, pemenuhan hak penyandang disabilitas tidak hanya bisa dipandang sebagai kebutuhan atau bagian pembangunan yang terpisah.

“Ketika kita berbicara terkait pemenuhan hak perempuan disabilitas, maka disabilitas harus dilihat sebagai bagian integral dari pembangunan yang adil, setara, dan tidak diskriminatif.”

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kesadaran Kesetaraan

Jadi, lanjut Dante, pembangunan yang tidak diskriminatif adalah pembangunan yang didasari kesadaran bahwa perempuan penyandang disabilitas adalah perempuan yang setara. Sama dengan perempuan lainnya, perempuan disabilitas perlu dipandang sebagai warga negara.

Pembangun yang tidak diskriminatif juga perlu didorong nilai inklusi yang mengamanatkan kesadaran, aksesibilitas, keterlibatan, dan dukungan bagi penyandang disabilitas baik di wilayah perkotaan sampai di wilayah pedesaan. Bahkan, sampai ke wilayah terluar, terpencil, dan tertinggal.

“Ketika kita fokus kepada penyandang disabilitas, tapi kita mengabaikan sumber yang menjadi akar permasalahan seperti kemiskinan, letak geografis, aksesibilitas, kondisi perempuan disabilitas yang menjadi orangtua, dan perempuan disabilitas yang datang dari kelompok minoritas secara etis dan kepercayaan akan membuat permasalahan tidak tertuntaskan.”

Sebaliknya, dukungan yang diberikan harus interseksionalitas, artinya ketika berbicara soal hak perempuan secara umum maka itu termasuk hak perempuan dengan disabilitas. Pasalnya, isu disabilitas bersentuhan erat dengan aspek-aspek lain sehingga sensitivitas terhadap penyandang disabilitas itu mutlak harus ada di diri setiap orang.

3 dari 4 halaman

Semua Orang Harus Berperan

Dante juga menegaskan bahwa semua orang harus berperan dalam mewujudkan nilai inklusif.

“Siapa yang harus berperan dalam hal ini? Tentu kita semua, seluruh masyarakat dan para pemangku kebijakan.”

Ia menambahkan, hal mendasar yang saat ini didorong adalah pendataan yang akurat dan terpercaya mengenai jumlah penyandang disabilitas.

“Data ini memengaruhi layanan pendidikan, layanan kesehatan, sosial, pekerjaan, yang pada akhirnya akan memangkas bahkan menghilangkan eksploitasi terhadap penyandang disabilitas.”

Perempuan disabilitas adalah perempuan yang memiliki potensi, kebutuhan, minat, dan cita-cita yang sama seperti perempuan lainnya, ujar Dante.

Sebelumnya, Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kalimantan Timur Anni Juwairiyah menyampaikan bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki hak untuk didata sebagai warga negara.

Menurut Anni, pendataan masyarakat penyandang disabilitas sangat berguna bagi penyesuaian akses dan bantuan bagi disabilitas di berbagai kesempatan seperti saat pemilihan umum (Pemilu).

Pendataan masyarakat disabilitas harus akurat berdasarkan karakteristik dan ragam disabilitas yang disandang. Data juga harus rinci untuk mengatasi hambatan para penyandang disabilitas dalam mendapatkan haknya.

“Hal ini penting untuk membantu perumusan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas sesuai dengan PP No. 70. Data tersebut juga harus divalidasi setiap 2 tahun sekali berbasis teknologi informasi dan jika belum terdata, penyandang disabilitas harus proaktif mendatangi kecamatan untuk pendataan tersebut,” ujar Anni dalam webinar pada Rabu (21/10/2020).

4 dari 4 halaman

Masalah Pendataan Disabilitas

Namun, tambahnya, masih terdapat sejumlah masalah, seperti masih beragamnya sistem pendata, sulitnya mengubah mindset baik dari penyandang disabilitas dan pemerintah. Kemudian, belum meratanya pemahaman tentang disabilitas dari para pengumpul data dan RT/RW yang berasal dari kalangan non disabilitas.

“Banyak yang masih tidak mengerti ragam disabilitas, jadi yang tidak disabilitas didata sebagai penyandang disabilitas dan sebaliknya. Begitu pun RT/RW ada saja yang belum tahu jumlah pasti penyandang disabilitas yang tinggal di daerahnya.”

Menurut Anni, pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab dalam melakukan pendataan. Mengingat pendataan adalah salah satu hak penyandang disabilitas.

“Penyelenggara pendataan adalah lembaga yang mengurus tentang sosial atau statistik, dalam hal ini tentunya Kementerian Sosial dan panitia pemungutan suara (PPS). Bisa salah satunya atau keduanya bekerja sama.”

Data yang harus dicari adalah data yang rinci. Anni sebagai disabilitas daksa menyebut bahwa disabilitas daksa saja sudah memiliki kondisi yang berbeda sehingga kebutuhannya pun akan berbeda.

Data yang dikumpulkan berfungsi untuk mengetahui berbagai kebutuhan tersebut sehingga pihak lain bisa membantu menyediakannya sebagai bentuk pemenuhan hak disabilitas. Contoh, dengan data yang rinci maka panitia Pemilu dapat mengetahui berapa jumlah difabel yang membutuhkan pendamping. Dengan demikian, pendamping pun bisa disiapkan.

“Data juga dikumpulkan untuk membantu perumusan implementasi kebijakan, penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas,” pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.