Sukses

Aturan Kaki Prostetik Berubah, Pemegang Rekor Dunia Tak Lolos Seleksi Paralimpiade Tokyo 2020

Atlet asal AS, Blake Leeper, yang diamputasi ganda namun pernah meraih medali perak di paralimpiade dan pemegang rekor dunia, tidak lolos seleksi untuk berpartisipasi di paralimpiade Tokyo 2020.

Liputan6.com, Jakarta Siapa sangka, kaki prostetik atlet ini bisa menjadi aturan yang dianggap tidak adil sejak peraturannya berubah pada 2018.

Dilansir dari BBC, atlet asal AS, Blake Leeper, yang diamputasi ganda namun pernah meraih medali perak di paralimpiade dan pemegang rekor dunia, tidak lolos seleksi untuk berpartisipasi di paralimpiade Tokyo 2020. Hal tersebut sebab aturannya diubah pada 2018.

Berdasarkan aturan yang baru, kaki prostetik yang digunakan Leeper selama bertahun-tahun dianggap terlalu panjang untuk kompetisi sprint atau lari cepat.

Namun bukannya memperpendek prostetiknya, Leeper justru membawa permasalahan ini ke Pengadilan Arbitrase Olahraga, dengan alasan sistem pengukuran mereka diskriminatif. Menurutnya juga, hal itu karena Olimpiade belum siap untuk penyandang disabilitas.

Maka selain ia kalah dalam kasus, klaimnya juga dibantah keras oleh World Athletics yang menyatakan kalau aturan tersebut diskriminatif berdasarkan ras.

"Saya seorang difabel yang terlahir tanpa kaki. Saya hanya ingin kesempatan yang adil dan pertandingan yang adil di turnamen besar melawan lawan tercepat di dunia. Namun mereka tidak bisa membiarkan hal itu terjadi," kata Leeper.

Leeper yang ditolak baik di Olimpiade maupun Paralimpiade hanya karena kakinya terlalu tinggi (sehingga memiliki langkah yang lebih jenjang untuk berlari).

"Pihak penyelenggara Olimpiade dan Paralimpiade mengatakan, tinggi saya harus 5'8'5" (174 cm) meskipun rentang tangan saya 6'1",6'2" (187 cm). Maka saya berlatih untuk rentang 5'8'5" (174 cm) untuk berlari secepat mungkin dengan tinggi ini," jelasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Bagaimana pengukuran yang digunakan?

MASH (Maximum Allowable Standing Height) menyasar untuk memprediksi hipotesis tinggi seorang yang kedua kakinya diamputasi. Caranya yaitu dengan total panjang rentang tangan dikalikan tinggi sisa kaki dan tinggi duduk. Dengan demikian bisa diprediksi tinggi asli seseorang serta tinggi kaki prostetiknya.

MASH ini berdasarkan pengujian pada warga Kaukasia dan Asia. Leeper mengatakan seharusnya dilakukan tes juga pada orang-orang berkulit hitam. Oleh karena itu Leeper merasa pengukuran MASH dirasa tidak adil, yang menurutnya seharusnya dilakukan pada seluruh atlet dan yang bersangkutan. Namun berikut respon dari para ahli.

Sementara Profesor Biomekanik, Peter Weyand, mengatakan, "Majelis hukum mendengarnya, mempertimbangkannya, mengatakan itu tidak adil. Maka dari itu, Blake, Anda tidak memenuhi syarat untuk berlari dengan prostetik setinggi itu. Sebab mereka terlalu panjang dan memberikan keuntungan bagi Anda," dikutip dari BBC.

 

3 dari 4 halaman

Perdebatan ahli

Sementara asosiasi Profesor Biomekanik, Alena Grabowski, mengatakan kalau keputusan untuk Blake Leeper dirasa tidak benar. "Saya yakin bahwa data yang tim kami serahkan sudah meyakinkan dan saya percaya bahwa ia seharusnya diizinkan untuk bertanding," katanya, dikutip dari BBC. Sehingga mereka juga tidak menyetujui metode MASH.

Memang itu bagus. Lalu apa itu sempurna? Mungkin. Tahukah Anda, akan selalu ada beberapa variabilitas, kata Peter.

Lalu, bisakah MASH salah mengkategorikan kaki bawahnya yang 15cm, lebih pendek saripada seharusnya? Tentu tidak bisa. Atau bisakah salah hitung sampai 10cm? Tidak mungkin. Tapi kalau berkurang sampai 2cm, itu mungkin saja, jelas Peter.

"Saya yakin jika Anda memiliki aturan untuk keseluruhan termasuk ras yang berbeda, sangat penting untuk memasukkan ras tersebut dalam pengembangan rumus untuk aturan tersebut," balas Alena.

"Jika semua hal sama rata, maka semakin panjang kaki Anda, semakin sepat Anda akan berlari," jelas Peter.

Namun menurut Alena, tidak ada efek ketinggian pada maksimal kecepatan. Sehingga mereka tetap dengan keyakinannya bahwa Leeper seharusnya bisa berpartisipasi meskipun dengan tinggi yang ia merasa nyaman dan juga bisa bertanding di Olimpiade.

Maka untuk bisa bertanding di Paralimpiade berikutnya, Leeper kini berlatih dengan prostetik yang lebih pendek.

"Saya juga harus melatih tubuh lagi dan di usia 31 menuju 32 tahun, tentu itu menjadi pertanyaan besar: untuk bertanya pada diri sendiri jika harus memulai semuanya dari awal lagi. Namun menjadi seorang yang terlahir tanpa kaki dan harus menghadapi disabilitas saya seumur hidup, saya belajar sejak lama bahwa hidup memang keras. Jadi saya juga punya karakteristik serta alat untuk mengatasi tantangan lain dalam hidup saya untuk suatu saat menjadi pria tercepat di dunia laggi, terlepas dari tinggi badan," ujar Leeper.

4 dari 4 halaman

Infografis Arti Warna Fitur Safe Entrance Aplikasi PeduliLindungi

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini