Sukses

Pendidikan Inklusif Harus Menggunakan Hati agar Karakter Orangtua dan Anak Terbangun

Pendiri Katahati Institute Erbe Sentanu menerangkan bahwa pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas adalah pendidikan karakter yang menggunakan hati.

Liputan6.com, Jakarta Pendiri Katahati Institute Erbe Sentanu menerangkan bahwa pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas adalah pendidikan karakter yang menggunakan hati.

Menurutnya, mendidik anak berkebutuhan khusus (ABK) dapat memperbaiki karakter orangtua. Membangun karakter membutuhkan waktu hingga 13 bahkan 20 tahun sampai benar-benar terbentuk baik karakter orangtua maupun karakter anak.

“Bagi saya arti inklusi sendiri adalah urusan hati. Inklusi adalah kalau kita bisa menerima atau menganggap semua orang itu setara dan sama dengan kita semua. Kalau kita selalu membanding-bandingkan maka kita tidak inklusi,” ujar Erbe dalam lokakarya di Yogyakarta Senin (9/10/2020).

Dalam mendidik anak dengan disabilitas maka dibutuhkan hati. Menurut Erbe hati berkaitan dengan rasa bukan dengan logika yang rumit.

“Hati itu bicaranya makna, pendidikan inklusi ini untuk orangtua adalah pendidikan untuk mencari makna kenapa ia memiliki anak yang spesial. Sementara, ketika rasa itu terbangun barulah karakter akan terbangun karena interaksi rasa antara orangtua dan anak membuat kita saling belajar bagaimana menyikapinya dengan baik kemudian mendapatkan kebaikan dari anak yang kita urus sekaligus kebaikan karakter kita juga.”

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Belajar dari Anak

Erbe menuturkan bahwa ia memiliki anak dengan down syndrome. Dari anaknyalah ia belajar berbagai hal yang kemudian membentuk karakternya sebagai orangtua.

“Jadi rasa peduli, rasa kasih, sabar, itu yang luarbiasa diajarkan anak saya kepada saya ini. Hal tersebut kemudian membangun karakter baik dan ketika saya baik anak pun baik. Saya merasa lebih mudah memperbaiki anak saya dengan cara memperbaiki perasaan saya. Jadi kalau anaknya bermasalah yang saya bereskan itu perasaan saya tentang masalah anak ini.”

Ia menambahkan, kesadaran terhadap hati sendiri menjadi fokusnya karena secara ilmiah jantung sebagai tempat rasa itu muncul memiliki energi yang kuat. Jika perasaan dimanfaatkan dengan baik maka pesan akan lebih mudah tersampaikan.

“Jika kita terus berjuang maka suatu saat kita akan sampai ke titik yang disebut titik ikhlas dari penolakan, keberatan, dan perjuangan. Kalau kita ikhlas menerima anak kita apa adanya maka anak akan dapat menerima dirinya sendiri,” pungkasnya.

 

3 dari 3 halaman

Infografis Disabilitas

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.