Sukses

Beda Tuli Sejak Lahir dan Kehilangan Dengar pada Masa Pertumbuhan

Disabilitas tuli dapat terjadi sejak lahir dan bersifat bawaan. Tuli juga dapat terjadi ketika masa pertumbuhan.

Liputan6.com, Jakarta Disabilitas tuli dapat terjadi sejak lahir dan bersifat bawaan. Tuli juga dapat terjadi ketika masa pertumbuhan.

Menurut peneliti dari  Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD), Universitas Brawijaya, Malang, Alies Poetri Lintangsari, disabilitas tuli yang terjadi sebelum masa penguasaan bahasa disebut sebagai prelingual deafness (ketulian prabahasa).

Sedang, ketulian yang terjadi selama atau setelah penguasaan bahasa disebut sebagai postlingual deafness (ketulian pasca bahasa).

“Waktu ketulian sangatlah penting karena hal ini berpengaruh pada komunikasi awal seorang anak, pemerolehan bahasa dan perkembangannya,” tulis Alies dalam penelitiannya dikutip pada Jumat (30/10/2020).

Ia menambahkan, apabila tuli bersifat bawaan atau terjadi sejak lahir, seorang anak tidak akan memiliki pengalaman dalam mengenali suara sehingga berdampak pada kesulitan yang dialami dalam memahami dan memproduksi sebuah ujaran.

Apabila ketulian terjadi sebelum masa penguasaan bahasa, maka proses komunikasi dipengaruhi oleh bahasa dasar yang sempat diperoleh selama masa pra bahasa dan bagaimana seorang anak dapat mengaksesnya untuk menunjang komunikasi.

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tuli Setelah Memperoleh Bahasa

Disabilitas tuli yang terjadi setelah memperoleh bahasa (postlingual deafness) memungkinkan seorang anak memahami dan mengerti konsep tata bahasa yang bisa dikembangkan melalui metode visual dan gestural setelah mengalami ketulian.

“Namun apabila konsep tersebut belum dipahami bahkan apabila ketulian terjadi setelah masa pemerolehan bahasa, maka proses pengenalan dan pemahaman konsep tata bahasa akan lebih sulit.”

Disabilitas tuli akan menghambat penguasaan dan perkembangan seorang anak namun hal ini bukan semata dikarenakan oleh kerusakan organ pendengaran namun juga dikarenakan tidak adanya lingkungan dan metode yang mendukung sehingga anak Tuli dapat memperoleh kesempatan yang sama dengan anak yang mendengar dalam hal pemerolehan bahasa.

“Ketulian akan menghambat sensor pendengaran sehingga input bahasa melalui suara hampir tidak ada, sehingga media alternatif adalah memaksimalkan sensor lainnya khususnya visual.”

Ada tiga alternative bagi anak tuli untuk memperoleh input bahasa yaitu melalui isyarat, membaca dan membaca ujaran.

“Dapat ditarik kesimpulan bahwa minimnya penguasaan bahasa bagi anak tuli bukan semata-mata dipengaruhi oleh kerusakan pada indra pendengaran namun juga tidak adanya dukungan dari lingkungan sekitar untuk memberikan input bahasa melalui media lain misalnya melalui isyarat, gestural teknik, memberikan bahan bacaan yang mudah dipahami serta memodifikasi pola komunikasi dan metode pengajaran yang sesuai dengan pola komunikasi yang paling cocok bagi setiap anak Tuli,” tutupnya.

3 dari 3 halaman

Infografis COVID-19

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.