Liputan6.com, Jakarta - Pernahkah kamu melihat pembullyan atau perundungan secara langsung atau mungkin melihatnya di media sosial? Momen-momen tersebut seringkali membuat kita merasa kesal dan sakit hati, terutama terhadap pelaku.
Bahkan, ketika perundungan terjadi di kalangan anak-anak sekolah dasar, banyak dari kita yang merasa prihatin dan cenderung menyalahkan orang tua serta pihak sekolah.
Baca Juga
Namun, tahukah kamu bahwa di balik tindakan perundungan, terdapat berbagai alasan yang mungkin mendasarinya? Banyak pelaku perundungan merasa tertekan, takut dikucilkan, atau bahkan berusaha membalas dendam atas pengalaman buruk yang pernah mereka alami.
Advertisement
Berikut beberapa alasan seseorang melakukan perundungan seperti dilansir dari Parents, Kamis (26/9/2024):
1. Merasa memiliki power
Salah satu alasan utama mengapa seseorang melakukan perundungan adalah untuk merasakan kekuasaan. Banyak pelaku bullying menargetkan mereka yang dianggap memiliki status lebih rendah.
Tindakan ini seringkali muncul dari perasaan kurang berdaya dalam hidup mereka sendiri, yang membuat mereka melampiaskan frustrasi kepada orang lain.
Dalam kelompok, individu yang merasa tidak terhubung atau tidak memiliki ketertarikan yang sama seringkali beralih ke perilaku negatif. Mereka berusaha menguasai orang-orang yang dianggap tidak memiliki cukup kekuatan dalam konteks sosial.
2. Merasa populer
Pelaku perundungan seringkali memiliki posisi sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan korban mereka. Dengan kekuasaan ini, mereka melakukan tindakan bullying, mulai dari pengolokan, caci-maki, hingga kekerasan fisik. Selain itu, mereka juga menciptakan ketidaknyamanan melalui gosip dan penyebaran isu.
Di sisi lain, individu dengan status sosial menengah yang terlibat dalam perundungan seringkali bertujuan untuk meraih kekuasaan sosial. Mereka merundung orang-orang yang berada di bawah status mereka untuk mendapatkan perhatian dan merendahkan orang lain.
Memahami motivasi ini penting agar kita dapat menangani perundungan dengan lebih baik dan membangun lingkungan yang lebih inklusif.
Advertisement
3. Balas dendam
Tak menutup kemungkinan mereka yang pernah menjadi korban pembullyan akan menjadi pelaku. Hal ini dilakukan dengan tujuan ingin membalaskan dendamnya. Mereka akan melakukan hal tersebut kepada orang lain dengan melakukan tindakan yang pernah mereka terima seperti dilecehkan dan disiksa.
Saat hal tersebut terjadi dan seperti apa yang mereka inginkan, mereka akan menemukan kepuasan dalam dirinya. Mereka akan merasa lega seperti telah berhasil membalas dendamnya.
Mereka akan melampiaskan balas dendam tersebut kepada orang yang dianggap masih di bawah dirinya atau bahkan kepala sang pelaku yang pernah melakukan pembully-an kepadanya.
4. Ditemukan masalah di rumah
Salah satu alasan seseorang melakukan perundungan adalah kurangnya kuasa dan kendali di rumah. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh kekerasan—seperti dimarahi atau dipukuli oleh orang tua—cenderung mencontoh perilaku tersebut.
Mereka kemudian menargetkan orang lain yang dianggap lebih lemah atau berada di posisi yang lebih rendah.
Selain itu, dinamika antara saudara juga dapat berkontribusi pada perilaku ini. Misalnya, seorang kakak yang membuli adiknya—melalui tindakan menyiksa atau mengejek—dapat membuat adiknya merasa tak berdaya. Dalam upaya untuk membalas, si adik seringkali mencari pelampiasan dengan meniru cara kakaknya menindasnya.
Memahami faktor-faktor ini sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi semua individu. Dengan kesadaran akan pengaruh lingkungan keluarga, kita dapat lebih baik dalam mencegah perundungan.
Advertisement
5. Takut dijadikan korban
Salah satu faktor yang mendorong seseorang melakukan perundungan adalah keinginan untuk diterima dalam kelompok pertemanan. Baik anak-anak maupun remaja seringkali berada dalam kondisi emosional yang labil, membuat mereka cenderung mengikuti perilaku yang dianggap benar oleh teman-teman, meskipun itu jelas salah.
Kekhawatiran untuk menjadi korban perundungan juga berperan. Banyak yang merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dengan tindakan kelompok, bahkan jika mereka sendiri tidak setuju.
Dalam situasi ini, mereka lebih memilih untuk menjadi pelaku daripada menjadi sasaran, sehingga mengabaikan konsekuensi negatif dari perilaku tersebut. Memahami dinamika ini penting untuk menciptakan lingkungan sosial yang lebih sehat dan mendukung.