Sukses

Studi: Minuman Energi Dapat Menyebabkan Penyakit Mental pada Anak-Anak

Minuman energi dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit psikologis pada anak-anak, termasuk kecemasan, stres, depresi menurut sebuah studi baru.

Liputan6.com, Jakarta - Minuman energi dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit psikologis pada anak-anak, termasuk kecemasan, stres, depresi serta perilaku seperti penggunaan narkoba dan kekerasan, menurut sebuah studi baru.

Peningkatan konsumsi minuman energi juga dikaitkan dengan kinerja akademis yang buruk, masalah tidur, dan kebiasaan makan yang tidak sehat, kata peneliti dari Newcastle University di Inggris.

Temuan ini, yang diterbitkan dalam jurnal Public Health, menggarisbawahi perlunya tindakan regulasi untuk membatasi penjualan dan pemasaran minuman energi kepada anak-anak, kata para ilmuwan.

“Kami sangat prihatin dengan temuan bahwa minuman berenergi dapat menyebabkan tekanan psikologis dan masalah kesehatan mental. Ini adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting yang perlu diatasi,” kata rekan penulis studi, Shelina Visram, dilansir dari Independent, Rabu (24/1/2024).

“Ada kelambanan kebijakan dalam bidang ini meskipun ada kekhawatiran pemerintah dan konsultasi publik. Sudah saatnya kita mengambil tindakan terhadap sektor pasar minuman ringan yang tumbuh paling cepat,” kata Dr Visram.

Para peneliti meminta pemerintah Inggris untuk mengambil tindakan terhadap penjualan minuman energi kepada anak-anak di bawah 16 tahun karena minuman tersebut dijual kepada kaum muda dengan harga yang lebih murah daripada air kemasan.

Dalam tinjauan penelitian tersebut, para ilmuwan menilai data kesehatan dari 57 penelitian terhadap lebih dari 1,2 juta anak-anak dan remaja di lebih dari 21 negara.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Minuman energi mengandung kafein tingkat tinggi

Para ilmuwan menemukan bahwa anak muda berusia 18 hingga 35 tahun yang mengonsumsi minuman energi setiap hari tidur sekitar setengah jam lebih sedikit dibandingkan mereka yang sesekali meminumnya atau tidak sama sekali.

Anak laki-laki juga ditemukan mengonsumsi minuman tersebut lebih sering dibandingkan anak perempuan, dan laki-laki yang minum dua atau tiga kali seminggu memiliki kemungkinan 35 persen lebih besar untuk tidur setelah tengah malam, 52 persen lebih mungkin tidur kurang dari enam jam, dan 60 persen lebih mungkin terbangun di tengah malam dibandingkan mereka yang tidak atau jarang meminumnya.

Minuman energi mengandung kafein tingkat tinggi yaitu sekitar 150 mg per liter dan gula dan dipasarkan sebagai minuman yang memberikan dorongan energi bagi masyarakat.

Para peneliti menemukan bahwa semakin banyak orang meminum minuman berenergi, semakin sedikit waktu tidur mereka. Namun bahkan hanya sesekali saja, sekitar 1-3 kali sebulan dan dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan tidur, menurut penelitian baru.

3 dari 4 halaman

Remaja yang konsumsi minuman berenergi tidur kurang dari 6 jam per malam

Studi lain juga menemukan bahwa dibandingkan dengan mereka yang sesekali mengonsumsi minuman energi, pria yang meminumnya setiap hari dua kali lebih mungkin untuk mengatakan bahwa mereka tidur kurang dari 6 jam per malam.

Temuan penelitian sebelumnya bahwa sepertiga anak-anak di Inggris mengonsumsi minuman energi berkafein setiap minggu menyebabkan banyak supermarket di negara tersebut setuju untuk melarang penjualan minuman energi kepada anak-anak.

Namun, minuman tersebut mudah dibeli oleh anak-anak di tempat-tempat seperti toko serba ada dan belum ada tindakan lebih lanjut dari pemerintah untuk membatasi penjualan minuman tersebut kepada anak-anak, kata para ilmuwan.

“Kami telah menyuarakan keprihatinan tentang dampak kesehatan dari minuman ini selama satu dekade terakhir setelah mengetahui bahwa minuman tersebut dijual kepada anak-anak berusia 10 tahun hanya dengan harga 25p. Itu lebih murah daripada air kemasan,” kata Amelia Lake, penulis studi lainnya.

“Buktinya jelas bahwa minuman energi berbahaya bagi kesehatan mental dan fisik anak-anak dan remaja serta perilaku dan pendidikan mereka. Kita perlu mengambil tindakan sekarang untuk melindungi mereka dari risiko ini,” tambah Dr Lake.

4 dari 4 halaman

9 Tes Kesehatan Mental dan Contoh Pemeriksaannya, Simak Penjelasan

Tes kesehatan mental menjadi sangat penting dalam menjaga kesejahteraan emosional, dan itu sebabnya semakin banyak orang yang menyadari pentingnya menguji kesehatan mental mereka dengan para profesional. Melansir dari Medline Plus, tes kesehatan mental membantu mengidentifikasi adanya gangguan mental dan memberikan pemahaman lebih mendalam tentang kondisi emosional seseorang.

Sebagai instrumen evaluasi, tes kesehatan mental memiliki berbagai bentuk, dan masing-masing memberikan wawasan yang berbeda. PsychCentral menjelaskan tes kesehatan mental yang dimaksud mencakup Tes Sikap, seperti Skala Likert dan Skala Thurstone, yang mengukur pandangan responden terhadap suatu pernyataan. Tes Proyektif, seperti Rorschach Inkblot Test dan Thematic Apperception Test, membantu mengidentifikasi emosi atau konflik yang belum terealisasi melalui umpan balik dari pengaruh eksternal. Serta masih banyak lagi.

Namun, dalam penggunaan tes kesehatan mental, perlu diingat bahwa self-diagnosis berdasarkan konten media sosial hingga mencarinya di internet alih-alih ke profesional dapat menimbulkan dampak negatif. Sebagaimana dijelaskan oleh dr. Lahargo Kembaren, Sp.KJ dari RS Jiwa dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor, dikutip dari Kementerian Kesehatan atau Kemenkes RI video-video di platform media sosial seringkali menunjukkan tanda dan gejala gangguan jiwa, yang dapat memengaruhi orang untuk melakukan self-diagnosis.

Berikut Liputan6.com ula slebih mendalam tentang macam-macam tes kesehatan mental yang dimaksudkan, Rabu (24/1/2024).

Selengkapnya...

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.