Sukses

[VIDEO 2]: Apa Jadinya Jika Monopoli PLN Dicabut?

Pemenuhan pasokan listrik di Indonesia saat ini dikuasai PLN. Apa jadinya jika monopoli PLN dicabut dan listrik dikelola banyak perusahaan?

Pemenuhan pasokan listrik di Indonesia saat ini masih dikuasai PT PLN (Persero). Perusahaan listrik pelat merah itu membangun infrastruktur kelistrikan, memproduksi listrik hingga menyalurkannya ke pelanggan yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air.

Monopoli yang dilakukan PLN terjadi secara alami akibat usaha penyediaan tenaga listrik bersifat padat modal dan teknologi. Ditambah ketatnya persaingan mendapatkan energi primer, membuat usaha penyediaan listrik jadi lebih berisiko. Terbentuknya monopoli tersebut juga disebabkan penugasan penyediaan listrik yang diberikan pemerintah ke PLN.

Pemerintah sebenarnya telah berupaya memangkas monopoli usaha kelistrikan PLN dengan menerbitkan Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan. Jika mengacu pasal 4 UU Ketenagalistrikan,  penyediaan tenaga listrik di Indonesia, sebenarnya bukan hanya tugas PLN, tapi juga perusahaan swasta koperasi dan swadaya masyarakat bisa berpartisipasi.

Walaupun peraturan memungkinkan pihak swasta membangun transmisi dan distribusi, tetapi sepertinya tidak ada investor swasta yang tertarik membangun jaringan listrik. Hal itu disebabkan besarnya biaya serta kecilnya keuntungan akibat harga jual listrik yang ditetapkan pemerintah jauh lebih rendah dibanding biaya produksi listrik.

Jika monopoli PLN itu 100% dicabut, lalu apa jadinya dengan kondisi kelistrikan di Indonesia? Apakah masyarakat siap jika tarif listrik mahal karena dikelola perusahaan asing?

Ditemui Nurseffi Dwi Wahyuni dari Liputan6.com, Direktur Utama PLN Nur Pamudji, mengungkapkan pemikirannya soal monopoli yang dilakukan PLN. Berikut hasil petikan wawancara seperti ditulis Kamis (1/8/2013):

Selama ini untuk membangun infrastruktur, PLN masih terus berutang. Apakah bisnis jual listrik di Indonesia sebenarnya tidak menguntungkan?

Penyelenggaran penyediaan tenaga listrik ini diselenggarakan secara korporasi, melalui perusahaan. Sebuah perusahaan sendiri bisa sustain kalau dia punya profit,  jika tidak punya profit bisa tutup perusahaannya. Untuk itu,  karena sudah ditentukan penyediaan listrik ini secara korporasi maka harus ada badan usaha dan badan usaha itu harus punya profit.

Masalahnya, harga listrik tidak ditentukan badan usaha. Si penjual ini tak bisa menentukan tarif sendiri karena sekarang ini tarif listrik diatur pemerintah, di seluruh dunia memang begitu. Selama badan usaha itu regulated monopoly, maka pemerintah awasi berapa biaya pokok produksi (BPP) listrik, kemudian berapa tingkat keuntungan yang disediakan untuk badan usaha tersebut, sehingga harga listriknya berapa.

Jika tarif listrik ditetapkan pemerintah dengan menghitung biaya pokok produksi ditambah margin keuntungannya, maka tidak perlu ada subsidi. Tapi sekarang ini harganya sengaja diset di bawah biaya produksi, ya konsekuensinya badan usaha harus punya profit. Kalau ada profit, dia bisa berutang. Kalau tidak ada profit, siapa yang mau kasih pinjaman.
                                         
Sementara untuk tambah kapasitas harus tambah ekuiti (modal), sementara ekuiti itu bisa didapat dengan menerbitkan saham baru, baik ke pemegang saham lama maupun ke capital market. Dalam kasus PLN itu kan pemegang sahamnya pemerintah, pemerintah tidak secara langsung tambah ekuiti.

Jadi ekuiti PLN itu hanya laba ditahan. Nah, karena laba ditahannya kecil, maka sebagian besar investasi harus disediakan dari utang.

Untungnya, saat ini lembaga kreditor masih tidak masalah memberi utang ke PLN karena PLN itu dinilai sebagai kuasi pemerintah, jadi seolah-olah PLN ini pemerintah.

Jika dibandingkan dengan negara lain, tarif listrik Indonesia memang murah sekali?

Tidak perlu dibandingkan dengan yang jauh, kita bandingkan dengan Thailand. Misalnya, untuk tingkat pengembalian aset (return on asset/ROA), kita itu 3%, Thailand sekitar 6% karena margin yang diberikan juga cukup bagus.

Sekarang ini ada konsultan yang disewa pemerintah untuk meneliti dan membandingkan PLN dengan perusahaan sejenis di negara lain. Secara umum,  PLN ini relatif efisien. ROA yang rendah tadi, bukan berarti  aset PLN tidak efisien tapi memang karena harga listriknya rendah.

Kan utility asset itu diukur dengan produktivitas aset terhadap kilowatthour (kWh) karena harga kWh-nya rendah, jadi dalam satuan uang, ROA-nya sangat rendah.

Apa tanggapan Anda jika monopoli terhadap PLN dicabut sehingga harga listrik bisa dilepas keekonomian?

Memang ada  beberapa negara yang menempuh jalur ini, tadinya regulated monopoly kemudian diubah menjadi pasar kompetitif. Itu terjadi yang pertama mengawalinya itu Inggris, pada tahun 1991 pada masa The Iron Lady Margaret Thatcher. Itulah yang memulai dan kemudian sukses kemudian ditiru banyak negara.

Tapi kita harus hati-hati bahwa  transformasi dari pasar regulated monopoly ke pasar kompetitif, ada beberapa kondisi supaya sukses. Pertama, pertumbuhan konsumsi listrik tidak boleh terlalu tinggi, itu kalau angkanya 1%-2%, maka transformasi ini akan berhasil.  Kedua, disparitas dari ketersediaan tenaga listriknya jangan terlalu jomplang antara satu daerah dengan daerah lain di satu negara. Jadi harus hati-hati.

Kemudian yang perlu dicermati lagi siapa nanti pemain yang akan mengelola badan usaha. Apakah nanti pasar dibiarkan terbuka? kalau terbuka maka yang masuk semuanya adalah pengusaha asing seperti yang terjadi di bisnis BBM non subsidi. Jadi nanti perusahaan listrik akan dikuasai perusahaan-perusahaan asing.

Kenapa asing bakal masuk?

Ya, karena mereka memiliki modal yang besar untuk investasi. Saya kasih ilustrasi, PLN pada tahun lalu  investasi sampai Rp 50 triliun, tahun ini mungkin Rp 60 triliun bisa dicapai. Perusahaan segede apa yang punya kapital sebesar itu di Indonesia.

Kalau itu kita lakukan, berarti kita secara sadar memang membuka pasar kita sepenuhnya untuk investasi asing di bidang pasokan tenaga listrik. Apakah itu akan untungkan Indonesia dalam jangka panjang? ternyata tidak sederhana jawabannya, butuh diskusi panjang lebar dengan kepala dingin yang melibatkan banyak stakeholder.

Jadi bukan soal PLN siap atau tidak siap. Bukan itu persoalannya. Coba nanti kalau tiba-tiba Indonesia dijadikan pasar bebas. Selain masalah siapa yang jadi pemain tadi, masih ada persoalan lain yaitu siapa yang menggarap daerah-daerah yang belum berkembang dan tidak menguntungkan, misalnya Sulawesi Tenggara.

Jadi memang ada jawabannya, katanya ya udah dibagi saja tergantung kesiapan daerah.  Daerah yang sudah mapan yang matang dikompetisikan, kalau daerah yang  tidak berkembang, ya belum, nanti saja kapan-kapan.

Dan itu juga tidak sederhana, misalnya di Pulau Jawa, tidak semuanya sudah terlistriki, contohnya Pacitan, Jampang Kulon, Sukabumi Selatan, Cianjur Selatan, Madura, Cepu. Jadi masih banyak spot-spot di pulau Jawa yang sarana kelistrikannya belum seluruhnya berkembang karena faktor geografis, topografi daerah itu masih menjadi tantangan. Bukan tidak mungkin, tapi itu perlu didiskusikan dengan panjang lebar dan kepala dingin dan melibatkan banyak stakeholder, supaya keputusannya matang.

Yang terpenting dari semuanya ini, jika listrik mau kompetitif, tidak boleh ada subsidi. Perlu diingat, margin yang dituntut perusahaan-perusahan swasta itu besar sekali, jauh lebih besar daripada margin yang didapat PLN.

Artinya harga listrik mungkin naik sekitar 2,5 kali lipat. Masalahnya, apakah masyarakat siap lompat ke situ, atau gradually (bertahap) naik. Jadi kasusnya berbeda dengan kasus di Inggris pada 1991. Di sana regulasi listriknya sudah cukup mapan meskipun regulated monopoly yang diterapkan, tapi regulasinya cukup bagus sehingga penyelenggaran badan usahanya yaitu Central Electricity Generating Board (CEGB) menikmati marjin yang besar dan kuat, harga listrik di sana juga sangat bagus.

Sehingga PLN Inggris waktu itu menikmati keuntungan yang besar dan bisa berkembang dengan cepat. Ketika penyediaan kelistrikan terbuka, maka seluruh perusaahan yang bergerak di bidang listrik bisa hidup dengan baik. Masyarakat Inggris juga sudah biasa membayar listrik dengan harga keekonomian plus marjin.

Jadi kasusnya berbeda dengan Indonesia. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, persoalannya bukan PLN siap atau tidak, tapi masyarakat siap atau tidak, pelaku badan usaha siap atau tidak. Kalau asing masuk, siap atau nggak, perusahaan Amerika Serikat (AS) masuk ke kelistrikan.

Contohnya di Victoria, sebuah negara bagian Australia, tadinya itu regulated monopoly, lalu sekitar tahun 2000-an, mereka konversi jadi kompetitif. Kemudian pada 2003, diamati siapa saja pemain industri tenaga listrik di sana. Ternyata 60% pemegang sahamnya adalah pemodal AS. Itu harus siap diterima, jangan nanti sudah pasar kompetitif, terus anti asing, alergi terhadap modal asing.

Dalam hal Australia, dia tidak masalah karena modal asing boleh masuk, tak ada restriction (pembatasan), lain dengan di Indonesia.

Apa yang menjadi fokus kepemimpinan Anda?

Saya tidak menganggap ada satu fokus yang berubah, daripada sejak PLN dipimpin Pak Dahlan. Tapi mungkin ada hal-hal yang saya kampanyekan,yang di masa Pak Dahlan tidak dikampanyekan tapi sudah dilakukan. Salah satunya kampanye `PLN Bersih No Suap', itu sengaja saya kampanyekan karena saya merasa PLN sudah siap untuk menerima kampanye.

Ini `PLN Bersih No Suap` 80% saya tujukan ke internal PLN, karena saya katakan kepada para pegawai PLN ini kita perlu untuk mentransformasikan ini ke perusahaan modern, yang ciri-cirinya salah satunya yaitu bersih dan tidak ada suap,  no corruption, no gratification. Itu adalah ciri perusahaabn modern karena itu nanti PLN akan transformasi ke arah itu.

Sisanya, 20% saya arahkan ke luar, itu tidak gegap gempita. Tapi intinya kalau seseorang datang ke  PLN dan tahu ada kampanye itu, dia akan merasa kalau sekarang saya urusan dengan PLN itu tidak ada suap.

Kalau Anda inginnya ke depan PLN seperti apa?

Saya itu selalu berdoa sehabis sholat agar PLN jadi perusahaan energi terbesar di Asia Tenggara, yang mensejahterakan bangsa Indonesia dan mensejahterakan karyawan PLN.

Sekarang PLN di posisi berapa di Asean?

Dari segi apa dulu, kalau dari segi profitabilitas kita kalah dari Malaysia dan Thailand. Namun dari segi produksi, kita nomor 1 di Asia Tenggara.

Tapi target saya yang terbesar itu tidak cuma produksi, tapi profitnya juga. Kalau profit PLN sudah normnal diantara perusahaan listrik di kawasan ini, PLN langsung masuk ke Fortune 500. Sekarang ini kita tidak bisa masuk itu karena faktor profit.

Sebenarnya profit itu perlu supaya kemampuan kita untuk sustain dalam jangka panjang bisa lebih terjamin, PLN jadi sehat, tingkat ekuiti bisa tumbuh normal, jangan terlalu kalah cepat dengan pertumbuhan utangnya. (Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini