Sukses

Larangan Penjualan Rokok 200 Meter Bikin Pedagang Pasar hingga Kelontong Rugi Triliunan Rupiah

Ketua Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI) Suhendro menuturkan, salah satu barang yang perputarannya tinggi yakni rokok.

Liputan6.com, Jakarta - Pedagang pasar dan warung kelontong menolak tegas aturan tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Khususnya terkait larangan penjualan rokok dengan zonasi 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Ketua Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI) Suhendro menilai, larangan penjualan rokok dalam bentuk zonasi itu akan sangat berdampak kepada para pedagang kecil. Sebab, omzet mereka sangat tergantung dari pendapatan harian.

"Di dalamnya mereka juga menjual bahan pokok, ada juga barang-barang yang perputarannya tinggi salah satunya rokok. Jadi kalau RPP ini bicara tentang jarak 200 meter baru boleh jualan, bagaimana mereka bisa hidup?" ungkapnya di Jakarta, Rabu (10/7/2024).

Menurut perhitungannya, larangan penjualan rokok di RPP Kesehatan pastinya akan mematikan pendapatan 9 juta pedagang pasar anggota APARSI. Lantaran, itu bisa menimbulkan kerugian hingga sekitar Rp 2,7 triliun bagi pedagang pasar anggota APARSI. 

"Sekarang dengan 9 juta pedagang saja itu omzetnya sudah sangat triliunan. Jadi bisa dibayangkan, hampir 30 persen dari situ. Jadi luar biasa omzet akan besar banget yang akan nge-drop. Buat pedagang ini jualan rokok idolanya, karena cukup laku," ungkapnya.

"Anggota kita hampir 9.550 pasar, itu mungkin perputarannya hampir Rp 9 triliun. Jadi 30 persen dari situ lah, itu besar sekali," Suhendro menambahkan.

 

 

 

2 dari 5 halaman

Aturan Zonasi

Tak hanya pedagang pasar, aturan zonasi penjualan rokok 200 meter juga dikeluhkan oleh pemilik warung kelontong. Wakil Ketua Persatuan Pedagang Kelontong Sumenep Indonesia (PPKSI) Hamdan Maulana mengaku bingung pedagang warung kelontong tiba-tiba dimasukan ke dalam suatu aturan. Lantaran keberadaan pedagang warung kelontong sebelumnya tidak pernah diatur dalam suatu zonasi. 

Imbasnya, Hamdan meneruskan, aturan dalam RPP Kesehatan bakal membuat 70 persen pedagang kelontong tutup lapak. Sebab omzet penjualan rokok dari warung kelontong memakan porsi hingga sekitar 60 persen. 

"Ini bisa 70 persen warung kelontong tutup, kalau ini diterapkan. Itu di Indonesia ada sekitar 800 ribu warung kelontong yang masuk di kita, belum yang kemudian tidak kita data karena ada di tempat yang jauh. Jadi dampaknya luar biasa, itu kerugiannya triliunan," tuturnya.

 

3 dari 5 halaman

Asosiasi Sebut Zonasi Penjualan Rokok Potensi Gerus Pendapatan 9 Juta Pedagang

Sebelumnya, Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (Aparsi) menolak aturan tembakau di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Khususnya terkait larangan penjualan rokok dengan zonasi 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. 

Ketua Umum APARSI Suhendro khawatir atas aturan larangan penjualan rokok dengan zonasi 200 meter ini. Ia menegaskan bahwa rencana larangan penjualan rokok dengan zonasi 200 meter itu tidak berpihak pada rakyat kecil.

"Aturan ini menimbulkan perdebatan yang makin meresahkan nasib para pedagang pasar ke depannya. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan apakah aturan ini ingin menekan jumlah konsumsi perokok atau justru menekan pendapatan para pedagang pasar," ungkapnya, Kamis (4/7/2024).

Selain itu, aturan tersebut berpotensi menggerus pendapatan sekitar 9 juta pedagang pasar yang berada di 9.000 pasar yang tersebar di seluruh Indonesia. Padahal, saat ini para pedagang pasar tengah mengalami tekanan akibat harga sembako yang tak kunjung stabil. 

Maka, ia menilai aturan baru ini dapat dipastikan akan menambah beban pedagang hingga dapat mengancam keberlangsungan usaha mereka.

"Aturan ini bisa berdampak pada sekitar 9 juta pedagang pasar di seluruh Indonesia. Banyak di antara mereka yang berjualan rokok dan menggantungkan pendapatan-nya pada rokok. Usaha mereka yang akan jadi taruhannya," tegasnya.

Suhendro lantas memohon kepada pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengeluarkan aturan tembakau dari RPP Kesehatan, apabila pasal aturan larangan penjualan rokok dengan zonasi 200 meter tetap berada di dalamnya.

"Kami meminta pemerintah agar menimbang kembali dampak yang akan dirasakan oleh para pedagang pasar apabila aturan ini disahkan. Kehidupan pasar rakyat semestinya dilindungi oleh pemerintah, bukan malah dirugikan," pungkasnya.

 

4 dari 5 halaman

Peritel Berpotensi Rugi Rp 20 Triliun Imbas Ketentuan Ini

Sebelumnya, Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) tegas menolak pasal tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan atau RPP Kesehatan. Lantaran, aturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) tentang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 ini dinilai berpotensi mengancam keberlangsungan usaha ritel.

Ketua Dewan Penasihat Hippindo Tutum Rahanta mengutarakan, sebagai salah satu komoditas yang diperjualbelikan di ritel, produk tembakau semisal rokok menyumbang angka pendapatan usaha yang besar. Sehingga aturan ini dipastikan akan merugikan usaha. 

Pada 2023, estimasi total nilai penjualan produk tembakau nasional pada ritel modern mencapai Rp 40 triliun. Itu berpotensi hilang hingga Rp 20 triliun lebih akibat aturan tersebut gara-gara rokok dilarang diperjualbelikan di area tertentu dekat sekolah. 

"Jika aturan ini disahkan, maka diperkirakan lebih dari setengah jumlah pendapatan tersebut akan lenyap. Hal ini karena terdapat ratusan ribu ritel modern yang akan terdampak dari aturan tembakau di RPP Kesehatan, khususnya dari rencana larangan penjualan rokok dengan zonasi 200 meter dari tempat pendidikan dan tempat bermain anak," kata Tutum, Rabu (3/7/2024).

Tutum lantas menyayangkan adanya polemik aturan tembakau di RPP Kesehatan yang saat ini masih jadi perdebatan. Padahal, aturan produk tembakau yang saat ini berlaku dinilai sudah baik dari sisi peraturan dan implementasinya. Pelaku usaha juga sudah menaati aturan penjualan produk tembakau sesuai ketentuannya.

"Aturan yang berlaku saat ini untuk tata cara penjualan rokok itu sudah komprehensif. Dengan memperketat aturan tembakau di RPP Kesehatan, seperti aturan zonasi 200 meter dari pusat pendidikan dan tempat bermain anak, ini akan menjadi sangat bias dan menimbulkan ketidakpastian di lapangan," tegasnya. 

 

 

5 dari 5 halaman

Bakal Ganggu Usaha

Selain itu, Tutum juga melihat aturan penjualan produk tembakau yang tercantum di RPP Kesehatan akan mengusik keberlangsungan usaha dan aturan yang sebelumnya sudah berlaku. 

"(Penjualan) kalau diganggu pasti akan berdampak terhadap timbulnya kesempatan lain. Saya kira nanti (akan) timbul (penjualan produk tembakau) di pasar gelap dan membludak. Sehingga pemerintah nanti akan sulit untuk mengontrol peredarannya," imbuhnya.

Fenomena ini menegaskan aturan zonasi 200 meter untuk penjualan produk tembakau belum tentu dapat dikontrol dampaknya di lapangan dan akan menimbulkan ketidakpastian usaha. Oleh karena itu, Tutum menegaskan, jangan sampai ada aturan baru bagi produk tembakau yang menganggu penjualan peritel.

"Selama barang yang dijual (adalah produk) legal, maka sebaiknya diatur saja, tapi jangan sampai ganggu proses penjualannya di lapangan. Sekali lagi, implementasi (dari aturan tembakau di RPP Kesehatan) itu akan berpotensi menimbulkan perdebatan dan ketidakpastian," ungkapnya.