Sukses

Buruh: KRIS BPJS Kesehatan Bikin Bingung, Lebih Baik Bebas Iuran

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) Mirah Sumirat menilai pemerintah keluarkan satu keputusan yang bikin bingung terkait kebijakan kelas rawat inap standar.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) Mirah Sumirat mengaku bingung dengan kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang akan menggantikan skema kelas 1, 2 dan 3 bagi peserta BPJS Kesehatan. 

"Pastinya menjadi sangat membingungkan ketika pemerintah mengeluarkan satu keputusan yang lagi-lagi bikin bingung rakyat, bikin heboh untuk rakyat, dan cenderung gaduh," ujar Mirah kepada Liputan6.com, Kamis (16/5/2024).

Salah satu poin kegelisahannya terkait besaran iuran peserta BPJS Kesehatan yang sekarang terbagi dalam sistem kelas 1, 2 dan 3. Lantaran, besaran iuran dalam sistem KRIS masih belum jelas jelang diterapkan paling lambat 30 Juni 2025.

"Dengan dihilangkannya kelas 1, 2 dan 3 rakyat makin bingung. Karena bagaimana untuk iurannya, apalagi catatan sampai 2025 itu kan masih berlaku untuk iuran kelas 1, 2 dan 3. Itu bagaimana?" tegasnya. 

Daripada membingungkan masyarakat, Mirah lantas usul agar pemerintah tidak perlu mengenakan tarif terhadap Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

"Kalau begitu mendingan pemerintah mengeluarkan satu keputusan yang menyenangkan hati rakyat, yaitu dengan menggratiskan. Masukan saja seluruh rakyat dengan PBI. Artinya biarlah nanti rakyat merasakan bagaimana mendapatkan fasilitas kesehatan secara gratis," pintanya. 

Agar kas negara tak jebol dalam menanggung iuran gratis ini, Mirah menyebut pemerintah bisa mencari pemasukan di bidang kesehatan dari kelompok masyarakat menengah atas. 

"Kalau pertanyaannya bagaimana, anggaran APBN negara pasti kan jebol, enggak bakal bisa (menanggung). Makanya nanti kalau orang-orang kaya baru mau mendapat fasilitas lebih baik, kamu bayar. Kalau bagi rakyat menurut saya kasih saja PBI," tuturnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

BPJS Kesehatan Terapkan KRIS, Iuran Peserta Kelas 3 Bakal Naik Berapa?

Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyoroti kebijakan penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) bagi peserta BPJS Kesehatan, paling lambat 30 Juni 2025.

Menurut dia, aturan yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 itu masih menyimpan tanda tanya besar. Khususnya terkait besaran iuran yang kini terbagi dalam skema kelas 1, 2 dan 3.

Said Iqbal lantas berasumsi jika penerapan KRIS bakal menyamakan iuran seluruh peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dengan bayangan harga tengah antara peserta kelas 1, 2 dan 3. Jika itu terjadi, ia beranggapan iuran peserta kelas terbawah akan naik.

"Dia ambil harga tengah, misal Rp 75.000. Berarti yang orang mampu turun iuran, orang tidak mampu bertambah. Pertanyaannya, mampu enggak pemerintah mensubsidi? Pasti enggak mau. Jadi yang dirugikan kelas bawah, iurannya naik," ungkapnya kepada Liputan6.com, Kamis (16/5/2024).

Di sisi lain, ia juga menanggapi implementasi KRIS tidak menghapus jenjang kelas pelayanan rawat inap bagi peserta. Said Iqbal mengaku sanksi jasa pelayanan yang diberikan akan membaik, meskipun besaran iuran peserta kelas bawah dinaikan.

"Apakah pelayanan meningkat dengan iuran yang kemungkinan besar naik bagi orang bawah? Enggak mungkin pelayanannya naik," tegas dia.

 

 

 

 

 

3 dari 5 halaman

Harus Ada Investasi

Tak hanya bagi peserta, Said Iqbal juga menilai rencana penerapan KRIS di BPJS Kesehatan bakal merepotkan pihak pengelola rumah sakit, khususnya swasta.

Kementerian Kesehatan dalam hal ini menyatakan tidak akan menghapus jenjang kelas rawat inap 1-3, namun menitikberatkan pada perbaikan tempat tidur. Dengan sistem KRIS, satu kamar nantinya akan punya maksimal 4 tempat tidur.

"Apa akibatnya, kan harus ada investasi dengan merombak kamar. Kita bicara kelas dulu. Misal kamar kelas 3 di rumah sakit swasta, Muhammadiyah dan lainnya ada 6 orang, misal dibikin jadi 4 orang," ujar Said Iqbal.

"Berarti ada investasi merombak kamar. Begitu pula rumah sakit negeri, dia merombak kamar. Kalaupun tidak merombak kamar, investasinya adalah akan mengurangi jumlah kamar, yang tadinya diisi 6 orang jadi 4 orang. Akibatnya ketersediaan kamar berkurang," tuturnya.

Lewat skenario ini, ia mengatakan pihak pengelola rumah sakit juga harus bikin kamar baru jika ketersediaan kamar dan ruangannya pasca direnovasi masih belum mencukupi.

"Pertanyaannya, kalau (rumah sakit) negeri kan masih bisa lah menggunakan APBN tahun depan. Kalau rumah sakit swasta dari mana investasinya? Jadi kesimpulannya program KRIS itu tidak bisa berjalan di Juni 2025," pungkas Said Iqbal.

4 dari 5 halaman

Dikhawatirkan Pasien Sulit Dapat Kamar

Sebelumnya, Pemerintah mengatur ulang sistem kelas dalam BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Sistem ini dinilai bisa mempersempit peluang pasien peserta jaminan kesehatan nasional (JKN) untuk mendapatkan kamar rawat inap.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menyoroti sistem KRIS dengan ruang perawatan mengarah ke satu ruang. Dalam aturannya, kamar inap akan diisi maksimal 4 tempat tidur, dan 12 kriteria ruangan. Namun, menurutnya, hal ini bisa menyulitkan peserta JKN.

"Pelaksanaan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) berpotensi akan menghambat akses peserta JKN pada ruang perawatan. Pelaksanaan KRIS akan merujuk pada PP no. 47 tahun 2021, yang di pasal 18 nya disebutkan RS Swasta dapat mengalokasikan ruang perawatan KRIS minimal 40 persen dari total yang ada, dan RS Pemerintah minimal mengalokasikan 60 persen," ujar Timboel kepada Liputan6.com, Kamis (16/5/2024).

Dia menuturkan, bila sebuah RS swasta mengalokasikan 50 persen, maka itu sudah memenuhi PP no. 47 tersebut. Artinya, ada batas maksimal pasien peserta JKN yang bisa diterima oleh rumah sakit.

 

 

5 dari 5 halaman

Skema Kelas

Padahal, mengacu pada skema kelas yang diterapkan saat ini, masih banyak pasien BPJS yang sulit mendapatkan kamar. Padahal, belum ada batasan tertentu untuk porsi pasien BPJS di rumah sakit.

"Ini artinya terjadi pembatasan akses bagi peserta JKN ke ruang perawatan di RS. Saat ini saja, dimana ruang perawatan kelas 1, 2 dan 3 diabdikan semuanya untuk pasien JKN, masih terjadi kesulitan mengakses ruang perawatan, apalagi nanti dgn KRIS, akan terjadi ketidakpuasan untuk layanan JKN dari peserta JKN," ujar dia.

Dia menegaskan, jika akses terhadap kamar rawat inap tadi sulit didapatkan, tak menutup kemungkinan peserta JKN nantinya malah pindah untuk melalui jalur umum. Artinya, ada beban finansial untuk membayar biaya perawatan tadi.

"Tidak boleh ada lagi peserta JKN mengalami kesulitan mengakses ruang perawatan, sehingga menjadi pasien umum yg bayar sendiri. JKN jadi tidak bisa digunakan," tegasnya.

Minta Pemerintah Beri Jaminan

Atas keterbatasan tadi, Timboel meminta pemerintah bisa menjamin pasien BPJS Kesehatan bisa mendapatkan kamar rawat inap. Misalnya, jika di satu RS tidak mampu menampung, bisa diarahkan ke lokasi lain yang tersedia.

"Bila di sebuah RS memang kamar perawatannya penuh, Pemerintah (Kemenkes dan dinkes) dan BPJS Kesehatan harus segera mencarikan RS yang mampu merawatnya, dan merujuk ke RS tersebut, dengan ambulans yang dibiayai JKN. Jangan biarkan pasien JKN atau keluarganya yang mencari sendiri RS yang bisa merawat mereka," pintanya.

Sayangnya, kata Timboel, dalam Perpres 59 ini tidak ada aturan yang mewajibkan Pemerintah baik itu Kemenkes dan Dinkes daerah ataupun BPJS Kesehatan yang mencarikan RS pengganti.

"Saya berharap di Permenkes KRIS nanti klausula tersebut disebutkan secara eksplisit sehingga Pemerintah dan BPJS Kesehatan benar-benar menjamin pasien JKN mudah mengakses ruang perawatan KRIS," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.