Sukses

Ada Rencana Kementerian Bertambah Jadi 40, Pengamat: Harus Hitung secara Ekonomi dan Fiskal

Ekonom ISEAI Ronny P Sasmita menuturkan, nomenklatur kabinet memang tidak baku dan tidak ada aturan konstitusional yang menetapkan jumlah anggota kabinet harus dalam jumlah tertentu.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden terpilih Prabowo Subianto dikabarkan menambah jumlah kementerian lembaga menjadi 40 dari sebelumnya 34. Rencana penambahan jumlah kementerian itu menurut pengamat didorong sejumlah faktor antara lain menjalani visi misi pemerintahan baru dan besaran koalisi.

Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita menuturkan, nomenklatur kabinet memang tidak baku dan tidak ada aturan konstitusional yang menetapkan jumlah anggota kabinet harus dalam jumlah tertentu. Ia mengatakan, nomenklatur kabinet sangat ditentukan oleh dinamika dan besar kecilnya koalisi politik yang mendukung seorang presiden di satu sisi. Sisi lainnya yakni visi misi seorang presiden.

"Pertama, besaran koalisi terkait dengan bagi-bagi kursi kabinet. Semakin besar koalisi semakin besar kepentingan politik yang harus diakomodasi di dalam pemerintahan khususnya di dalam kabinet,” ujar Ronny saat dihubungi Liputan6.com lewat pesan singkat, ditulis Jumat (10/5/2024).

Ronny menuturkan, selain koalisi pengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memang sudah besar, sehingga tendensi politik Prabowo yang juga merangkul banyak pihak setelah terpilih. Hal itu dinilai menjadi pertimbangan menambah jumlah kementerian. "Menjadi sebab politik mengapa beliau merencanakan nomenklatur kabinet yang besar sampai 40,” kata dia.

Kedua, Ronny menilai, visi misi Prabowo Subianto sangat ambisius dan menyentuh berbagai sisi kehidupan berbangsa dan bernegara juga menjadi penyebab lainnya. "Pemerintahan Prabowo Gibran harus menciptakan beberapa pos kementerian baru untuk menangani masalah-masalah baru yang menurut mereka belum efektif tertangani oleh nomenklatur kabinet versi lama," kata dia.

Namun, rencana itu harus dibenturkan dengan kekuatan fiskal yang ada. Pemerintahan Prabowo-Gibran, menurut dia harus juga berhitung tidak hanya secara politik. Selain itu, berdasarkan pada proyeksi masa depan yang ada di dalam dokumen visi misi presiden terpilih.

"Karena pembesaran komposisi kabinet tidak dilakukan tanpa penambahan pembiayaan. Jadi pemerintahan Prabowo-Gibran harus berhitung secara ekonomi dan fiskal,” kata dia.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Jika Jumlah Kementerian Bertambah, Hal Ini Jadi Perhatian

Jika rencana kementerian itu benar bertambah jadi 40, Ronny menuturkan, masalah fiskal dan overlapping dengan kementerian atau lembaga negara yang sudah ada perlu perhatian.

Selain itu, Ronny menuturkan, jika pemerintahan baru menambah jumlah kementerian, sejumlah kementerian ini akan alami perubahan.

Ia mengasumsikan, pemerintahan baru akan memisahkan kembali kementerian pariwisata dengan urusan ekonomi kreatif, dengan membuat pos kementerian baru untuk urusan ekonomi kreatif dan ekonomi digital. Selanjutnya kementerian riset dan teknologi akan dibuatkan tersendiri, terpisah dari kementerian pendidikan. Nampaknya akan dibentuk juga kementerian kebudayaan.

“Kementerian Pekerjaan Umum akan dipisahkan dengan Kementerian Perumahan Rakyat. Kementerian Pembanginan Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal akan dipisahkankan, lalu disatukan dengan urusan transmigrasi. Dan akan ada kementerian yang khusus menangani masalah ketahanan pangan,” ujar Ronny.

3 dari 4 halaman

Tanggapan Ekonom Indef Terkait Rencana Prabowo Tambah Kementerian Jadi 40

Sebelumnya, rencana penambahan jumlah kementerian menjadi 40 pos mencuat usai pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memenangkan kontestasi Pilpres 2024. Isu ini pun telah menimbulkan beragam reaksi dari berbagai kalangan, baik dari pihak yang pro maupun kontra.

Salah satunya, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, menilai struktur kabinetnya terlalu gemuk alias kebanyakan. Selain itu, dikawatirkan ke depan akan menimbulkan tumpang tindih antar Kementerian yang terkait.

"Menurut saya terlalu Gemuk kabinetnya, seharusnya kabinet bisa lebih ramping tergantung dari tupoksinya agar tidak tumpang tindih harus dilihat satu per satu kementerian," kata Esther kepada Liputan6.com, Kamis (9/5/2024).

Ia juga menyoroti terkait rencana presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang akan membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN), tujuannya untuk memusatkan penerimaan negara dari pajak, bea cukai, dan nonpajak lewat satu pintu.

Padahal lebih efisien melanjutkan kementerian yang sudah ada yakni Kementerian Keuangan sebagai induk dari pengaturan keuangan negara.

"Seperti badan penerimaan negara dan kementerian keuangan seharusnya satu saja kementerian keuangan, karena anggaran pengeluaran dan penerimaan bisa jadi satu dalam kementerian keuangan," ujar dia.

Esther menyarankan, daripada membentuk Kementerian-kementerian baru yang membuat anggaran melebar, lebih baik anggarannya digunakan untuk program Pemerintah yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.

"Ke depan masih banyak program pemerintah yang harus dilaksanakan sehingga butuh banyak anggaran, sebaiknya lebih efisien. Dengan gemuknya kabinet akan meningkatkan besarnya anggaran untuk kementerian," pungkasnya.

 

4 dari 4 halaman

Adi Prayitno: Pembentukan 40 Kementerian Harus Mengubah Regulasi

Sebelumnya, Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, menjelaskan bahwa wacana Calon Presiden RI terpilih, Prabowo Subianto, yang akan menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 kursi, harus mengubah regulasi yang ada.

"Regulasi harus diubah. Suka-suka pemenang saja bagaimana postur kabinet ke depan," kata Adi, Rabu (8/5/2024). 

Hal ini bertolak belakang dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang justru merampingkan jumlah kementerian untuk meningkatkan efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Meskipun demikian, Adi menilai bahwa baik Jokowi maupun Prabowo memiliki pandangan masing-masing terkait dengan kementerian.

"Jika untuk kemajuan bangsa, anggaran harus dialokasikan, kecuali untuk kepentingan yang tidak bermanfaat, ceritanya berbeda," ujarnya.

Jumlah kementerian telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

"Jumlah keseluruhan kementerian sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 maksimal 34," demikian bunyi pasal tersebut.

Penjelasan dalam Undang-Undang No. 39/2008 ini juga menyebutkan bahwa undang-undang ini bertujuan untuk melakukan reformasi birokrasi dengan membatasi jumlah kementerian maksimal 34.

Sebelumnya, Prabowo berencana untuk menambah jumlah kementerian menjadi 40 dari yang sebelumnya 34.

Calon Wakil Presiden RI terpilih, Gibran Rakabuming Raka, juga telah memberikan tanggapan terkait penambahan jumlah kementerian menjadi 40 kursi ini. Menurutnya, komposisi kabinet saat ini masih sedang dibahas dengan berbagai pihak.

Wali Kota Surakarta itu tidak menampik kemungkinan adanya penambahan kursi menteri dalam kabinet Prabowo-Gibran. Bahkan, dia mengakui bahwa salah satu kementerian yang sedang direncanakan adalah kementerian khusus untuk mengurus program makan siang gratis.

Program makan siang gratis merupakan program unggulan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo-Gibran, selama kampanye Pilpres 2024.

Gibran juga menyadari bahwa program tersebut tidaklah sederhana sehingga membutuhkan lembaga khusus untuk mengelolanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini