Sukses

Sri Mulyani: Ekonomi Global 2024 Masih lemah, Indonesia Justru Tumbuh Positif

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan perekonomian global di tahun 2024 masih dalam posisi yang lemah, meskipun inflasi secara global mengalami penurunan.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan perekonomian global di tahun 2024 masih dalam posisi yang lemah, meskipun inflasi secara global mengalami penurunan.

Hal itu dipengaruhi oleh kondisi geoolitik dan  ekonomi global yang perlu mewaspadai, karena situasinya tidak membaik dan bahkan ada ketegangan-ketegangan baru.

"Perekonomian global 2024 diperkirakan masih dalam posisi yang lemah, dimana meskipun inflasi mengalami moderasi atau penurunan namun belum serta merta menurunkan suku bunga yang melonjak cukup tinggi dalam 18 bulan terakhir," kata Menkeu dalam konferensi pers APBN KITA Edisi Februari 2024, secara virtual, Kamis (22/2/2024).

Apalagi kata Sri Mulyani, dilihat dari ramalan lembaga dunia seperti IMF, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,1 persen. Kemudian, World Bank memproyeksikan  2,4 persen atau lebih rendah dari kinerja perekonomian global tahun 2023.

Kendati begitu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh 5 persen. Artinya, masih relatif dalam posisi yang cukup baik dibandingkan negara G20 maupnun di ASEAN.

Lebih lanjut, kata Menkeu, perkembangan inflasi global yang mulai menurun memberikan harapan akan terjadinya penurunan suku bunga, namun ini diperkirakan baru akan terjadi pada semester kedua.

Disisi resiko, ia melihat bahwa bagi negara-negara yang waktu 4 tahun lalu menggunakan instrumen fiskalnya untuk menghadapi pandemi covid, situasi inflasi serta suku bunga yang tinggi dalam jangka panjang, membuat ruang kebijakannya, baik fiskal maupun moneter diberbagai negara menjdi sangat terbatas.

Menurutnya, hal ini tidak dalam posisi yang menguntungkan, karena perekonomian global dan domestik berbagai negara justru sedang dalam posisi lemah. Dimana biasanya membutuhkan intervensi atau respons dari baik intrumen fiskal maupun moneter, namun space dari kebijakan moneter dan fiskal di berbagai negara sudah sangat terbatas.

"Inilah yang harus menjadi perhatian kita bahwa  kita perlu untuk menavigasi situasi yang sangat rentan dan risiko dari sisi global. Namun Indonesia dalam situasi yang relatif baik," pungkasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Fantastis, Kerugian Dampak Perubahan Iklim Capai Rp 544 triliun

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengatakan kerugian dari dampak perubahan iklim (climate change) mencapai Rp 544 triliun selama periode 2020-2024.

Menkeu menyampaikan, dalam Pertemuan Nasional Result Based Payment dari upaya Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) yang diselenggarakan bersama antara Kementerian Keuangan, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendag), mengenai daya rusak perubahan iklim yang luar biasa dahsyat dan sudah terasa dampaknya.

"Di Indonesia, @bappenasri mengestimasi kerugian dari dampak climate change mencapai Rp544 triliun pada periode tahun 2020-2024," kata Sri Mulyani dikutip dari Instagram pribadinya @smindrawati, Rabu (21/2/2024).

Upaya Indonesia

Kendati kerugian dampak perubahan cuaca sangat besar, kata Menkeu, berbagai upaya yang dilakukan Indonesia dalam mengatasi dan meyuarakan isu climate change ini telah mendapatkan rekognisi dan kompensasi melalui Green Climate Fund (GCF) dan Result Based Payment dari upaya Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).

"@kemenkeuri selama ini terus bekerja sama dengan seluruh K/L dan stakeholder dalam membangun awareness terkait climate change. Baik melalui climate budget tagging dalam pelaksanaan belanja negara, menciptakan instrumen sukuk hijau, hingga bekerja sama dengan @kementerianlhk membangun @bpdlh.id," ujarnya.

Bendahara negara ini berharap dalam forum REDD+ ini bisa menjadi wadah untuk saling bertukar wawasan dan pengalaman antar pimpinan dan pejabat di daerah guna menciptakan berbagai program untuk mengatasi perubahan iklim.

"Yang tentunya juga perlu melibatkan peran masyarakat di wilayah masing-masing. Mari terus berupaya bersama mengatasi dampak climate change, untuk kelestarian bumi serta keberlangsungan hidup umat manusia," pungkas Sri Mulyani.

3 dari 4 halaman

Jepang dan Inggris Resesi, Sri Mulyani Sebut Ekonomi Negara Maju Tertekan

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa perekonomian negara-negara maju mulai mengalami tekanan, termasuk Jepang dan Inggris yang sudah masuk jurang resesi.

Menurut, Sri Mulyani, tekanan yang dialami oleh negara-negara maju itu dipengaruhi oleh kenaikan suku bunga yang terlalu tinggi yang terjadi diberbagai negara.

"Tahun ini kan beberapa lembaga memang menyampaikan bahwa kinerja dari perekonomian negara-negara maju akan cukup tertekan karena kenaikan suku bunga di berbagai negara cukup tinggi dalam waktu yang sangat singkat jadi pasti mempengaruhi kinerja ekonomi mereka," kata Menkeu Sri Mulyani saat ditemui usai menghadiri Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan OJK 2024, Selasa (20/2/2024).

Kenaikan suku bunga itulah yang menyebabkan proyeksi dan outlook ekonomi bagi banyak negara maju, terutama G7 yang meliputi Amerika Serikat, Italia, Inggris, Prancis, Jepang, Kanada, dan Jerman akan cenderung melemah.

"Ini menjadi tantangan untuk lingkungan global kita semua, nanti kita lihat minggu depan kan saya menghadiri G20 di Brasil pasti nanti akan ada update mengenai kondisi perekonomian global," ujarnya.

 

4 dari 4 halaman

Dampak Perang

Namun, khusus untuk Jepang dan Inggris, kata Sri Mulyani, keadaan perekonomian kedua negara tersebut sudah cukup lemah. Kemungkinan karena dampak perang antara Rusia dan Ukraina, sehingga mempengaruhi kebijakan ekonominya.

"Tapi negara negara maju seperti yang tadi disebutkan yang mengalami resesi ya memang mereka sudah cukup lemah, entah karena perang di Ukraina yang mempengaruhi utamanya Eropa dan juga Jepang. Eropa secara general juga akan terpengaruh dari kebijakan ekonomi terutama suku bunga naik," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.