Sukses

Nilai Tukar Rupiah Bakal Terus Berdarah-darah Bulan Ini, Baru Bisa Bangkit November Nanti

Menurutnya, penguatan dolar AS cenderung masih akan berlanjut di sepanjang bulan ini, namun mereda memasuki bulan November. Pada minggu ini market masih akan menunggu rilis data-data terkait pasar tenaga kerja AS. Hal ini akan berpengaruh kepada nilai tukar rupiah

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Kamis pagi ini menguat tipis 3 poin atau sebesar 0,02 menjadi 15.697 per dolar AS dari sebelumnya 15.700 per dolar AS. Dalam beberapa pekan ini, nilai tukar rupiah memang terus melemah dari level biasanya di kisaran 15.400 per dolar AS.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, tren penguatan dolar AS terhadap mata uang dunia termasuk rupiah dalam 3 bulan terakhir ini dipengaruhi oleh berlanjutnya sentimen risk off di pasar keuangan global, terutama terkait arah suku dari Bank Sentral AS atau The Fed.

"Seiring bunga Fed yang cenderung higher-for-longer ke depannya, sehingga ruang pelonggaran kebijakan moneter cenderung terbatas di 2024," kata Josua kepada Liputan6.com, Kamis (12/10/2023).

Menurutnya, penguatan dolar AS cenderung masih akan berlanjut di sepanjang bulan ini, namun mereda memasuki bulan November. Pada minggu ini market masih akan menunggu rilis data-data terkait pasar tenaga kerja AS.

"Market masih berekspektasi pasar tenaga kerja AS masih akan cenderung ketat," ujarnya.

Data Inflasi AS

Sementara, pada pekan depan, market akan menunggu data inflasi AS, dimana market masih berekspektasi inflasi akan cenderung tertekan. Tekanan tersebut diperkirakan akan mulai mereda memasuki bulan November ke depan.

"Meredanya tekanan dolar AS disebabkan oleh perkiraan kepastian arah kebijakan the Fed pada FOMC bulan November meskipun terdapat kemungkinan the Fed akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25bps pada pertemuan tersebut," jelas Josua.

Namun, kata Josua, kejelasan terkait apakah kenaikan suku bunga acuan sudah dalam level puncak dan bagaimana ruang pemotongan suku bunga di tahun 2024 dapat memberikan angin segar bagi market, sehingga para investor diperkirakan mulai akan masuk ke aset-aset yang lebih berisiko di emerging markets, termasuk rupiah.

"Selain dari sisi the Fed, potensi meredanya sentimen juga berpotensi terjadi akibat mulainya melambatnya indikator-indikator sektor riil AS yang rilis pada minggu-minggu terakhir Oktober," pungkasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Rupiah Hari Ini

Untuk diketahui, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Kamis pagi menguat tipis 3 poin atau sebesar 0,02 menjadi 15.697 per dolar AS dari sebelumnya 15.700 per dolar AS.

Analis pasar mata uang Lukman Leong memperkirakan rupiah akan bergerak datar dengan kecenderungan menguat terbatas terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pascarisalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang less hawkish.

"Dolar AS sedikit melemah setelah pada risalah pertemuan FOMC, menunjukkan The Fed cenderung berhati-hati dan mengkhawatirkan dampak suku bunga tinggi pada ekonomi," ujar dia dikutip dari Antara, Kamis (12/10/2023).

Artinya, The Fed hanya melihat tingkat suku bunga acuan AS saat ini sudah cenderung cukup untuk menurunkan inflasi. Karena itu, investor sedang wait and see menantikan data inflasi malam ini yang diperkirakan menurun ke kisaran 3,6 persen pada September 2023 dari bulan sebelumnya 3,7 persen.

"Rupiah hari ini diperkirakan berkisar Rp15.650-Rp15.750 per dolar AS," kata Lukman.

Menurut CME FedWatch Tool, ekspektasi pasar terkait suku bunga bakal bertahan di akhir tahun terlihat meningkat dari 57 persen menjadi 74 persen.

 

3 dari 3 halaman

Bunga The Fed

Sebelumnya, Analis Bank Woori Saudara BWS Rully Nova menyampaikan bahwa kemungkinan suku bunga acuan akan bertahan hingga akhir tahun yang dipengaruhi pernyataan dovish dari The Fed.

Dua pejabat The Fed, Raphael Bostic dan Neel Kashkari, menyampaikan bahwa The Fed tidak perlu kembali menaikkan suku bunga.

Mereka berdua memiliki alasan yang berbeda. Bostic khawatir terhadap perang Palestina melawan Israel, sedangkan Kashkari menyinggung imbal hasil obligasi AS yang sudah tinggi akan menurunkan inflasi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini