Sukses

Gara-Gara Punya Utang Rp 1 Miliar, Dua Orang Ini Gugat Aturan Bunga Kredit ke MK

Dua warga menggugat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai aturan terkait bunga bank dalam KUHPerdata bertentangan dengan konstitusi, sekaligus praktik riba yang diharamkan agama.

Liputan6.com, Jakarta - Warga Kota Bekasi, Edwin Dwiyana bersama warga Kabupaten Bogor, Utari Sulistyowati, melayangkan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) atas aturan bunga pinjaman bank yang tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Kedua warga itu meminta bunga pinjaman bank dihapus lantaran bernilai riba, dan bertentangan dengan konstitusi maupun ajaran agama.

Mengutip berkas permohonan yang dirilis Mahkamah Konstitusi, Jumat (7/7/2023), Utari mengaku pernah mengikatkan diri dengan perjanjian utang piutang senilai Rp 1 miliar, dan dikenakan bunga.

Sementara Edwin dikatakan pernah meminjam melalui aplikasi marketplace Shopee pada 22 November 2022 sebesar Rp 750 ribu. Dalam pinjaman tersebut, Edwin dikenakan bunga pinjaman 3,95 persen atas keseluruhan utang.

Atas kasus tersebut, kedua penggugat melalui kuasa hukumnya, Irawan Santoso merasa hak konstitusional untuk memeluk dan melaksanakan agamanya masing-masing dirugikan.

Pasalnya, para pemohon harus menyepakati adanya perjanjian utang piutang yang dikenakan bunga atas peminjaman tersebut.

"Padahal, para pemohon beragama Islam sehingga harus menjalankan ibadah sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, yang mana ketentuan dalam Islam bahwa mengambil bunga dalam utang piutang adalah hukumnya haram karena mengandung riba," kata Irawan.

Menurut para pemohon, aturan KUHPerdata yang membawahi bunga pinjaman murni peninggalan produk hukum Hindia Belanda yang belum pernah sekalipun mengalami amandemen.

Tak Sesuai Ekonomi Pancasila

Sehingga diklaim sangat tidak bersesuaian dengan semangat ekonomi Pancasila yang berlaku di Indonesia, dimana mengutamakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Klausul bunga dalam pasal yang menjadi objek permohonan ini, selain membuat tidak terjaminnya kemerdekaan para pemohon dalam kebebasan menjalankan agama Islam, juga sangat tidak berkeadilan. Sebab, itu berdampak bahwa pihak kreditur akan berada dalam posisi lemah (imperior) dan debitur dalam posisi superior.

"Mengingat dosa riba yang mengenai pihak berutang, yang mengutangkan, dan yang mencatatkan akan dianggap sebagai pelaku riba, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim Konstitusi membatalkan objek permohonan a quo sehingga tidak tergolong dalam kelompok yang mensahkan berlakunya riba bagi umat Islam di Indonesia," tegas Irawan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Dinilai Riba, Warga Bogor dan Bekasi Gugat Aturan Bunga Bank ke MK

Sebelumnya, dua warga menggugat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai aturan terkait bunga bank dalam KUHPerdata bertentangan dengan konstitusi, sekaligus praktik riba yang diharamkan agama.

Gugatan tersebut dilayangkan oleh warga Kota Bekasi, Edwin Dwiyana bersama warga Kabupaten Bogor, Utari Sulistyowati. Sidang pengujian materiil KUHPerdata digelar MK pada Selasa (4/7/2023) lalu.

Kedua penggugat melalui kuasa hukumnya, Irawan Santoso merasa hak konstitusional untuk memeluk dan melaksanakan agamanya masing-masing dirugikan dengan keberlakuan Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUHPerdata.

Pasalnya, para pemohon harus menyepakati adanya perjanjian utang piutang yang dikenakan bunga atas peminjaman tersebut.

"Padahal, para pemohon beragama Islam sehingga harus menjalankan ibadah sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, yang mana ketentuan dalam Islam bahwa mengambil bunga dalam utang piutang adalah hukumnya haram karena mengandung riba," tulis siaran pers MK, dikutip Jumat (7/7/2023).

 

3 dari 5 halaman

Produk Hukum Hindia Belanda

Menurut para pemohon, KUHPerdata yang berlaku di Indonesia murni peninggalan produk hukum Hindia Belanda yang belum pernah sekalipun mengalami amandemen. Banyak unsur dalam KUHPerdata juga dinilai tidak sesuai dengan adat ketimuran maupun kehidupan keagamaan di wilayah Indonesia yang berlandaskan Pancasila.

"Dengan demikian, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim MK menyatakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945," kecam Irawan.

Selain itu, sambung Irwan, frasa bunga dalam Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 murni peninggalan Hindia Belanda yang diambil dari Code Napoleon. Sehingga diklaim sangat tidak bersesuaian dengan semangat ekonomi Pancasila yang berlaku di Indonesia, dimana mengutamakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

4 dari 5 halaman

Tidak Menjamin Kemerdekaan

Klausul bunga dalam pasal yang menjadi objek permohonan ini, selain membuat tidak terjaminnya kemerdekaan para pemohon dalam kebebasan menjalankan agama Islam, juga sangat tidak berkeadilan. Sebab, itu berdampak bahwa pihak kreditur akan berada dalam posisi lemah (imperior) dan debitur dalam posisi superior.

"Mengingat dosa riba yang mengenai pihak berutang, yang mengutangkan, dan yang mencatatkan akan dianggap sebagai pelaku riba, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim Konstitusi membatalkan objek permohonan a quo sehingga tidak tergolong dalam kelompok yang mensahkan berlakunya riba bagi umat Islam di Indonesia," tegas Irawan.

5 dari 5 halaman

Pasar yang Digugat

  1. Pasal 1765: Bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau barang lain yang habis karena pemakaian.
  2. Pasal 1766: Barang siapa yang sudah menerima suatu pinjaman dan telah membayar bunga yang tidak diperjanjikan dahulu, tidak dapat meminta kembali bunga itu dan juga tidak dapat mengurangkan dari pinjaman pokok, kecuali jika bunga yang telah dibayar itu melampaui jumlah bunga yang ditetapkan dalam undang-undang.
  3. Pasal 1767: Ada bunga menurut undang-undang dan ada yang ditetapkan di dalam perjanjian. Bunga menurut undang-undang ditetapkan di dalam undang-undang, bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian boleh melampaui bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang.
  4. Pasal 1768: Jika orang yang meminjamkan telah memperjanjikan bunga dengan tidak menentukan berapa besarnya, maka si penerima pinjaman diwajibkan membayar bunga menurut undang-undang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.