Sukses

Kenaikan Suku Bunga Negara Maju Bikin Capital Outflow di Emerging Market Rp 148,1 Triliun

Kenaikan suku bunga untuk menekan inflasi berpotensi akan mempengaruhi kinerja ekonomi global pada tahun 2023, yaitu potensi mengalami koreksi ke bawah.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, meskipun mengalami pelamahan, nilai tukar rupiah masih cukup bertahan jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Hal yang sama juga terjadi dengan angka inflasi, Indonesia tidak terlalu dalam jika dibandingkan negara ASEAN. 

Sri Mulyani menjelaskan, nilai tukar mata uang beberapa negara lain terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) mengalami koreksi yang sangat tajam. Yen Jepang telah mengalami depresiasi 25,8 persen, Renminbi China mengalami depresiasi 12,9 persen, dan Lira Turki mengalami depresiasi 38,6 persen.

"Demikian juga yang terjadi dengan negara negara tetangga kita, Ringgit Malaysia terdepresiasi 10,7 persen, Baht Thailand terdepresiasi 14,1 persen, dan Peso Filipina terdepresiasi 15,7 persen. Dalam periode yang sama nilai tukar rupiah juga mengalami depresiasi sebesar 6,1 persen," ujar Sri Mulyani pada rapat paripurna DPR RI, Jakarta, Kamis (29/9/2022).

Hal yang sama juga terjadi dengan angka inflasi. Di beberapa negara maju yang sebelumnya selalu single digit atau mendekati 0 persen dalam 40 tahun terakhir, sekarang melonjak mencapai double digit. Bahkan inflasi di Turki mencapai 80,2 persen dan di Argentina mencapai 78,5 persen.

"Inflasi yang sangat tinggi ini telah mendorong respons kebijakan moneter terutama di Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Eropa lainnya, dengan sangat agresif menaikkan suku bunga yang menyebabkan gejolak di sektor keuangan dan arus modal keluar (capital outflow) dari negara-negara emerging hingga mencapai USD 9,9 miliar atau setara Rp 148,1 triliun sampai dengan 22 September 2022. Hal ini menyebabkan tekanan pada nilai tukar di berbagai negara emerging," terang dia.

Tak hanya itu, The Fed baru saja menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin, artinya sejak awal kenaikan suku bunga oleh Federal Reservesudah mencapai 300 basis poin.

"Kenaikan suku bunga di berbagai negara, terutama negara maju jelas akan meningkatkan cost of fund dan mengetatkan likuiditas yang harus kita waspadai secara sangat hati-hati," tambahnya.

Kenaikan suku bunga untuk menekan inflasi berpotensi akan mempengaruhi kinerja ekonomi global pada tahun 2023, yaitu potensi mengalami koreksi ke bawah.

"Inflasi yang meningkat dan pertumbuhan ekonomi yang melambat akan mengakibatkan stagflasi. Negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang merupakan penggerak perekonomian dunia berpotensi mengalami resesi pada tahun 2023," sambungnya.

Reporter: Siti Ayu Rachma

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sri Mulyani: Luka yang Disebabkan Pandemi Covid-19 Sangat Dalam

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut, dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam. Bahkan Dampak ekonomi kali ini melampaui krisis keuangan 1997-1998 dan 2008-2009.

"Pandemi mulai dan sudah bisa dikelola meskipun belum sama sekali selesai. Pandemi meninggalkan scarring effect yang sangat dalam," kata Sri Mulyani dalam UOB Annual Economic Outlook 2023 bertajuk “Emerging Stronger in Unity and Sustainably”, Kamis (29/9/2022).

Menkeu menjelaskan, dampak utama pandemi covid-19 adalah terancamnya jiwa manusia. Karena penyakit yang disebabkan berasal dari virus baru, sehingga pada awal penyebarannya belum ada temuan obat dan vaksin yang cocok.

Di awal pandemi, salah satu cara untuk memutus penyebaran covid-19, pemerintah memutuskan untuk membatasi kegiatan masyarakat. Akibatnya, kegiatan ekonomi terhenti sementara.

"Policy pembatasan dan pembatasan itu memukul sangat dalam terutama pelaku kecil. Indonesia yang mayoritas juga didominasi perusahaan-perusahaan dan kegiatan sektor informal pasti sangat terpukul sangat dalam," ujar Sri Mulyani.

Menurutnya, beda dengan krisis yang terjadi pada 1997-1998 dan 2007-2008. Krisis keuangan pada periode itu hanya menyerang neraca lembaga keuangan, perusahaan asuransi, hingga korporasi besar. Hal itu bisa terganggu karena nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat anjlok, sehingga berdampak pada sisi pinjaman.

"Menimbulkan dampak ancaman pada eksistensi atau keberlanjutan dari lembaga keuangannya dan itu berarti menimbulkan efek sistemik. Itu yang terjadi pada 1997-1998, 2007-2008, yaitu sumber masalahnya di neraca lembaga keuangan dan korporasi besar," ujarnya.

 

3 dari 3 halaman

Cara Penyelesaian Sama

Walaupun masalah krisis keuangan pada periode pada 1997-1998, 2007-2008 berbeda dengan krisis yang disebabkan pandemi, Menkeu menyebut Pemerintah melakukan cara yang sama dalam menyelesaikan persoalan, yakni memberikan relaksasi kredit.

"Karena kita menganggap para peminjam dari lembaga keuangan terutama bank pasti menghadapi situasi sangat sulit saat pandemi di mana aktivitas sangat dibatasi atau bahkan berhenti," ujar Menkeu.

Namun, untuk dampak pandemi tidak berhenti di situ saja, pemerintah terpaksa harus menggunakan APBN sebagai instrumen fiskal guna meringankan beban masyarakat akibat pandemi dengan cara menyalurkan bantuan sosial, kepada masyarakat terdampak dan UMKM.

Misalnya, menyalurkan bantuan sosial terhadap 10 juta program keluarga harapan (PKH). Lalu, memberikan bantuan 18,8 juta sembako; bantuan terhadap UMKM; hingga bantuan subsidi upah untuk karyawan yang gajinya di bawah Rp 5 juta sebulan.

"Ini karena kita memahami bahwa masyarakat yang hidupnya tergantung cashflow harian sangat terpukul dengan pandemi scarring effect-nya dalam dan luas. Itu efek luka dari pandemi tidak hanya penyakit," pungkas Menkeu. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.