Sukses

Sri Mulyani Gambarkan Memburuknya Ekonomi Dunia, Terbaru IMF Ubah Prediksi

Sri Mulyani menambahkan, kondisi perekonomian global bakal makin memburuk bila tidak ada perubahan di sisa 6 bulan terakhir tahun ini.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan jika pertumbuhan ekonomi dunia akan makin melemah pada 2022 dan 2023 mendatang. Hal ini sesuai dengan update proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) pada pekan ini.

Pelemahan pertumbuhan ekonomi ini terjadi akibat adanya perkembangan geopolitik dan tingkat inflasi. Sehingga tanda-tanda pelemahan ekonomi global memang semakin terlihat.

"Dunia akan mengalami perlemahan pertumbuhan ekonomi tahun ini dan tahun depan. Tahun ini hanya tumbuh 3,2 persen dari tadinya 3,6 persen. Artinya turun 0,4 persen," terang Sri Mulyani dalam sesi konferensi pers APBN KiTa, Rabu (27/7/2022).

"Sementara untuk tahun 2023 IMF memperkirakan pertumbuhan 2,9 persen. Ini turun 0,7 percentage point dari forecast sebelumnya (3,6 persen)," ujar dia.

Bukan tidak mungkin, Sri Mulyani menambahkan, kondisi perekonomian global bakal makin memburuk bila tidak ada perubahan di sisa 6 bulan terakhir tahun ini.

"Ini bahkan sudah diberikan warning, mungkin akan mengalami revisi lagi ke bawah apabila semester kedua ini akan mengalami terjadinya tren pemburukan, terutama di sisi inflasi dan respon kebijakannya," serunya.

Berdasarkan perkiraan IMF, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat tahun ini akan turun 1,4 persen jadi 2,3 persen.

Sedangkan pada 2023 akan makin parah, menjadi hanya 1 persen secara full year atau terpangkas 1,3 persen.

Begitu juga Eropa, yang pertumbuhan ekonomi di sepanjang 2022 diprediksi turun 0,2 persen menjadi 2,6 persen. Lalu makin terpangkas jadi 1,2 persen di tahun depan, atau turun 1,1 persen dari proyeksi awal.

Sri Mulyani melanjutkan, kondisi serupa pun bakal dirasakan China sebagai negara ekonomi terbesar kedua di dunia.

IMF merevisi pertumbuhan ekonominya menjadi hanya 3,3 persen dari tadinya 4,4 persen, dan 4,6 persen pada 2023 atau melemah 0,5 persen.

"Penurunan yang cukup signifikan. China selalu mengharapkan pertumbuhan ekonominya selalu di atas 5 persen. Jadi ini adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup lemah untuk tahun ini dan tahun depan," tuturnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sri Mulyani Sebut Indonesia Lebih Perkasa dari AS dan Eropa soal Ancaman Resesi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terus mengamati ancaman resesi sebagai imbas dari pengetatan moneter yang dilakukan berbagai negara dunia saat ini.

Namun secara data, Indonesia tampaknya masih jauh lebih aman dari resesi dibanding negara lain. 

Sri Mulyani menyebut, risiko ini muncul akibat adanya kenaikan harga energi dan komoditas pangan. Sehingga negara-negara maju cenderung tidak siap menghadapi situasi ini. 

"Inggris sekarang inflasi sudah 9,4 (persen). Bulan lalu sudah di atas 9 (persen), 9,1 (persen), sekarang 9,4 (persen). Amerika juga sama. Sebelumnya 8,4 (persen) sekarang melonjak ke 9,1 (persen). Eropa pun sama, sekarang inflasinya memuncak di 8,6 (persen)," beber Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Rabu (27/7/2022).

Padahal, ia melanjutkan, negara-negara Eropa sudah terbiasa dengan tingkat inflasi 0 persen atau mendekati 0 persen.

Sehingga kenaikan sampai delapan kali lipat atau sembilan kali lipat merupakan suatu shock dalam perekonomian mereka. 

"Ini akan direspon dengan kebijakan pengetatan moneter, baik dalam bentuk kenaikan suku bunga maupun dari sisi pengetatan likuiditas pada currency masing-masing," ujar Sri Mulyani. 

Sementara di Amerika Serikat (AS) yang menguasai transaksi dunia dengan USD, harus berjibaku dengan tingkat inflasi 9,1 persen per Juni 2022.

Situasi ini membuat bank sentral AS The Federal Reserve makin agresif menaikan suku bunga acuannya, yang jelas turut mempengaruhi kesehatan perekonomian global. 

"Secara historis, setiap kali Amerika menaikan suku bunga apalagi secara sangat agresif, biasanya diikuti oleh krisis keuangan dari negara-negara emerging," tekan Sri Mulyani. 

Melihat situasi ini, mengutip data survey Bloomberg, potensi AS terkena resesi mencapai 40 persen. Sementara Eropa memiliki probabilitas lebih tinggi, mencapai 55 persen. 

"Jadi kalau melihat berbagai negara dunia yang menghadapi dilema kenaikan inflasi tinggi dan pengetatan moneter, sehingga menyebabkan pelemahan ekonomi mereka, mereka dihadapkan pada kemungkinan munculnya resesi di negara tersebut," tuturnya. 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Masih mengacu pada data Bloomberg, Sri Mulyani mencatat, Indonesia masih relatif jauh lebih aman.

"Indonesia dalam hal ini probabilitas dalam resesinya menurut survey tersebut 3 persen. Tentu kalau dibandingkan negara-negara tersebut jauh lebih kecil," kata dia. 

Meskipun demikian, Bendahara Negara tetap mewanti-wanti agar Indonesia waspada. Pasalnya, indikator ekonomi dunia cenderung mengalami pembalikan, yaitu dari tadinya recovery jadi perlemahan. 

"Pada saat yang sama, kita juga melihat kompleksitas policy yang bisa menimbulkan spillover policy dari sisi moneter dari negara-negara maju, berpotensi menimbulkan spillover atau imbas negatif ke negara-negara di seluruh dunia. Termasuk Indonesia juga harus waspada," ungkap Sri Mulyani. 

 

 

 

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.