Sukses

2 Strategi Jitu BI Tangkal Dampak Buruk Perang Rusia-Ukraina

Bank Indonesia menyiapkan dua strategi jitu bank sentral dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global akibat dampak pandemi Covid-19 maupun konflik Rusia dan Ukraina.

Liputan6.com, Jakarta Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti menyampaikan, dua strategi jitu bank sentral dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global akibat dampak pandemi Covid-19 maupun perang Rusia-Ukraina.

Pertama, BI mengoptimalkan bauran dari tiga kebijakan. Yakni kebijakan moneter yang mengedepankan stabilitas sekaligus mendukung pemulihan ekonomi. Kemudian, kebijakan makroprudensial yang ditujukan untuk mendorong ekonomi hijau.

"Ketiga, kebijakan sistem pembayaran yang ditujukan untuk mengakselerasi pembayaran digital," ujar Destry dalam Webinar High Level Discussion G20 bertajuk "Strengthening Economic Recovery Amidst Heightened Uncertainty", Jumat (22/4).

Selain itu, BI juga terus meningkatkan koordinasi bersama Kementerian Keuangan dalam reformasi struktural dan pengendalian inflasi. Hal ini untuk memastikan tren perbaikan ekonomi domestik tetap terjaga di tengah ketidakpastian ekonomi dan pasar keuangan global.

"Di tengah ketidakpastian global, BI dan Kemenkeu harus menyeimbangkan antara stabilitas harga dan mendukung," tutupnya.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) merevisi prakiraan pertumbuhan ekonomi global pada 2022. Yakni, menjadi 3,5 persen dari sebelumnya sebesar 4,4 persen.

Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, revisi ini dilakukan akibat berlanjutnya ketegangan politik global akibat perang antara Rusia dan Ukraina. Hal ini berdampak pada ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.

"Pemulihan ekonomi global diprakirakan terus berlanjut meski lebih rendah dari proyeksi sebelumnya," ujarnya dalam video konferensi Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan BI - April 2022, Selasa (19/4).

Selain ketidakpastian di pasar keuangan global, perang Rusia-Ukraina juga berdampak pada pelemahan transaksi perdagangan, kenaikan harga komoditas, dan ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah penyebaran Covid-19 yang menurun.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Gubernur BI: Inflasi Jadi Masalah Serius di Semua Negara

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, kenaikan angka inflasi menjadi masalah serius. Masalah inflasi ini tak hanya terjadi di negara berkembang dan negara pasar berkembang saja tetapi juga negara maju.

"Beberapa negara berkembang hanya ingin pulih dengan fiskal yang terbatas, serta beberapa negara berkembang memiliki masalah utang," jelas Perry dalam Side Event G20, High Level Discussion, dikutip dari Antara, Jumat (22/4/2022).

Tak hanya di negara berkembang, inflasi juga kini menjadi masalah di negara maju. Peningkatan inflasi di berbagai belahan dunia merupakan dampak dari konflik Rusia dan Ukraina yang masih berlangsung.

Ketegangan geopolitik kedua negara menyebabkan tingginya harga komoditas, terutama harga energi dan makanan yang berdampak langsung kepada seluruh negara.

Selain inflasi, Perry menyebutkan dampak konflik kedua negara adalah melalui jalur perdagangan.

"Perang tentunya membuat masalah dalam rantai pasokan global serta membuat perlambatan pertumbuhan ekonomi global," katanya.

Dengan adanya konflik kedua negara ini, ia mengatakan Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi ke bawah proyeksi ekonomi global dari 4,4 persen menjadi 3,6 persen pada tahun ini.

Tak hanya di jalur perdagangan, konflik Rusia dan Ukraina pun memberi dampak kepada jalur keuangan dengan implikasi banyaknya bank sentral dunia yang merasa perlu menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi dan pengetatan likuiditas global.

3 dari 3 halaman

Inflasi Indonesia di 2022 Bisa Sentuh 8,7 Persen

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara buka kemungkinan inflasi bisa menyentuh angka 8,7 persen pada 2022 ini. Ini merupakan imbas dari scarring effect pasca pandemi Covid-19, ditambah konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina.

Suahasil mengatakan, dampak luka akibat pandemi turut menyebabkan peningkatan harga dan kenaikan angka inflasi. Pemerintah terus berupaya agar lonjakan harga komoditas tidak terlalu tinggi, sehingga proses pemulihan ekonomi bisa berjalan lancar.

"Jadi recovery memiliki hal yang harus kita waspadai. Di tengah-tengah itu lalu tiba-tiba terjadi geopolitik, perang Rusia dan Ukraina. Sehingga yang tadinya kita bayangkan bahwa oke, ada inflasi tapi akan kita tangani, inflasi tersebut tiba-tiba ditambah lagi krisis geopolitik ini," ujarnya dalam Rakorbangpus 2022, Kamis (21/6/2022).

Merujuk rilis IMF, Suahasil menyebut, IMF meramal pertumbuhan ekonomi dunia bakal turun 0,8 persen di 2022, dari sebelumnya 4,4 persen menjadi 3,6 persen.

Merujuk rilis IMF, Suahasil menyebut, IMF meramal pertumbuhan ekonomi dunia bakal turun 0,8 persen di 2022, dari sebelumnya 4,4 persen menjadi 3,6 persen.

Sementara proyeksi inflasi tahun ini bahkan bisa mencapai angka 5,7 persen di negara maju, dan 8,7 persen di negara berkembang. Itu 1,8 dan 2,8 poin lebih tinggi dari yang diperkirakan pada Januari 2022 lalu.

"Inflasi dunia yang tadinya dipikirkan 3,9 persen saja, diperkirakan akan naik lagi 1,8 dan 2,8 poin presentase lebih tinggi. Dan emerging market termasuk Indonesia di dalamnya diperkirakan inflasinya juga akan meningkat," ungkapnya.

Suahasil tak memungkiri, Indonesia tidak bisa lepas dari kondisi geopolitik dunia saat ini. Namun, pemerintah tetap perlu mensiasatinya agar tak berdampak lebih para pada perekonomian nasional.

"Kalau kita lihat inflasi yang meningkat di berbagai macam tempat, kita lihat inflasi ini sudah mulai naik di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ini harus kita tangani," seru dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.