Sukses

Susi Pudjiastuti Ajak Swasembada Kedelai, Netizen Bandingkan Kualitasnya dengan Produk Impor

Susi mengajak para petani bisa mencapai swasembada kedelai. Sehingga produsen tempe dan tahu tak sampai kelimpungan saat harga kedelai impor melonjak.

Liputan6.com, Jakarta Krisis kedelai impor yang memaksa sejumlah pembuat tahu dan tempe setop produksi, turut memancing perhatian mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.

Susi mengajak para petani bisa mencapai swasembada kedelai. Sehingga produsen tempe dan tahu tak sampai kelimpungan saat harga kedelai impor melonjak.

"Saatnya kembali menggalakkan swasembada kedelai. Begitu juga dengan minyak kelapa. Herakan semua resource yang ada di masing-masing desa," mengutip tulisan Susi melalui akun Twitter @susipudjiastuti, Rabu (23/2/2022).

Pernyataan tersebut dapat tentangan dari salah seorang netizen. Dikatakan bahwa kedelai lokal kurang bagus untuk produksi tempe. Namun, Susi merespon sebaliknya.

"Siapa bilang?. Sepengetahuan saya dan saya rasakan kedelai sendiri kalau dibikin tempe lebih enak," ujar Susi.

Menanggapi cuitan tersebut, netizen bersangkutan cerita bahwa dirinya sempat jadi pengusaha tempe 15 tahun lalu.

Dia tidak menyangkal jika tempe hasil produksi kedelai lokal memang lebih gurih, tapi banyak kekurangannya.

Tempe buatan kedelai lokal disebutnya kurang mengembang, sehingga konsumen lebih memilih yang lebih besar tapi murah. Kemudian, harga kedelai lokal pun masih lebih mahal daripada yang impor.

Balasan senada turut diberikan netizen lain, yang mengatakan produksi tahu kurang bagus memakai kedelai lokal.

Sebab, hasilnya tidak maksimal, santan yang dihasilkan sedikit, dan tidak sebagus hasil produksi kedelai impor.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ternyata RI Pernah Swasembada Kedelai di 1992, Kenapa Sekarang Tidak Bisa?

Direktur Aneka Kacang dan Umbi Kementerian Pertanian (Kementan) Yuris Tiyanto mengungkapkan Indonesia pernah mengalami swasembada kedelai. Itu terjadi pada 1992.

Namun kini, dia mengungkapkan tren produksi kedelai di Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun.  "Tahun 1992 itu kita pernah swasembada kedelai, tapi sekarang menurun drastis," kata dia melansir Antara, Selasa (22/2/2022).

Penurunan produksi disebut-sebut dikarenakan banyak petani kedelai yang beralih ke komoditas lain yang dinilai lebih menguntungkan ketimbang menanam kedelai.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi kedelai Indonesia pada tahun 2021 hanya 200 ribu ton. Sementara permintaan kedelai untuk memproduksi tahu tempe sekitar 1 juta ton per tahun.

Pada tahun 2022 Kementerian Pertanian menargetkan produksi 1 juta ton kedelai di atas lahan seluas 650 ribu hektare.

Kementerian Pertanian telah memberikan bantuan lahan seluas 52 ribu hektare kepada petani untuk ditanami kedelai, sementara 598 ribu hektare sisanya akan dibiayai melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Menurut dia, sejatinya kedelai lokal memiliki dua kelebihan dibandingkan dengan kedelai impor yaitu kandungan gizi yang lebih tinggi dan organik.

"Memang betul kalau kedelai kita itu kandungan gizinya tinggi. Yang kedua kita non-GMO (Genetically Modified Organis), itu non-transgenik. Kedelai luar itu kan GMO, ini yang tidak banyak diceritakan," kata Yuris.

Yuris menjelaskan GMO atau transgenik adalah rekayasa genetik yang dilakukan pada suatu tanaman untuk menghasilkan produk yang diinginkan. Sementara produk kedelai lokal seluruhnya organik.

"Transgenik itu ada rekayasa genetika, tapi kalau kedelai kita tidak ada rekayasa genetik, organik. Menurut saya itu lebih sehat sebetulnya," kata Yuris.

Kandungan gizi yaitu protein yang lebih tinggi dan metode penanaman yang organik membuat kedelai lokal memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan dengan kedelai impor.

Itulah yang menjadi alasan mengapa rasa tempe dan tahu di sentra produksi kedelai seperti Jawa Tengah memiliki rasa yang lebih gurih dibandingkan tahu dan tempe yang diproduksi dari kedelai impor.

Selain kelebihan tersebut, Yuris mengatakan kedelai lokal juga memiliki kelemahan yaitu hasil panen yang tidak terstandar.

Dia mengakui bahwa banyak petani kedelai yang memanen kedelai yang masih hijau sehingga produk akhirnya bercampur antara kedelai yang hijau dan kuning.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.