Sukses

OJK: Kerugian Akibat Investasi Bodong Capai Rp 117 Triliun dalam 10 Tahun Terakhir

Satuan Tugas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kerugian akibat investasi ilegal

Liputan6.com, Jakarta Satuan Tugas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kerugian akibat investasi ilegal mencapai Rp 117,4 triliun salam 10 tahun terakhir. Namun, diindikasikan masih banyak kerugian yang dialami masyarakat.

Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing menyampaikan jumlah itu diakumulasi dari investasi bodong yang masuk proses hukum. Ia menaksir masih banyak kerugian lainnya.

"Kerugian akibat investasi ilegal ini sampai Rp 117,4 triliun, ini baru yang masuk proses hukum, masih banyak kegiatan lain yang masyarakat kita tidak lapor atau mungkin malu atau takut diteror sehingga memang banyak kerugian masyarakat akibat para pelaku yang menipu masyarakat di investasi ilegal ini," katanya dalam webinar yang digelar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Kamis (10/2/2022).

Menurut data yang disampaikannya, tingkat kerugian akibat investasi ilegal pada 2011 tercatat sebesar Rp 68,62 triliun, 2012 Rp 7,9 triliun, 2014 Rp 235 miliar, 2015 Rp 289 miliar.

Kemudian pada 2016 Rp 5,4 triliun, 2017 Rp 4,4 triliun, 2018 Rp 1,4 triliun, 2019 Rp 4 triliun, 2020 Rp 5,9 triliun, dan 2021 Rp 2,5 triliun.

Hal ini juga sejalan dengan jumlah perkembangan entitas yang ditangani Satgas Waspada Investasi semakin meningkat dalam 5 tahun terakhir. Menurut datanya, paling banyak terjadi pada 2019, sebelum pandemi Covid-19.

"Kita lihat perkembangan dalam lima tahun terkahir jumlah entitas yang kita hentikan itu semakin lama semakin banuak. Paling banyak itu di 2019 sebelum pandemi ada 442 investasi ilegal, 1.493 fintek ilegal dan 58 gadai ilegal," katanya.

Kemudian menurun di 2020 sebanyak 347 investasi ilegal, 1.026 fintek ilegal, 75 gadai ilegal. Dan pada 2021 sebanyak 98 investasi ilegal, 811 fintek ilegal, dan 17 gadai ilegal.

Sementara itu, sebelumnya pada 2017 tercatat 79 investasi ilegal, kemudian di 2018 tercatat ditindak sebanyak 106 investasi ilegal dan 404 fintek ilegal.

Penurunan ini disinyalir akibat gencarnya pemerintah melakukan penindakan. Kemudian, tingkat kesadaran masyarakat juga jadi faktor.

"Menurunnya ini kita perkirakan karena kita semakin masif untuk melakukan pemberantasan pemblokiran, kemudian pengumuman kepada masyarakat dan juga edukasi secara berlanjut yang kita lakukan. Sehingga bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak terjebak di investasi ilegal dan pinjol ilegal," katanya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ciri-Ciri Investasi Bodong

Pada kesempatan yang sama, Tongam memaparkan ciri-ciri investasi ilegal. Ia menyebut hal ini perlu diwaspadai oleh masyarakat.

Diantaranya, menjanjikan keuntungan tidak wajar dalam waktu cepat. Kemudian, menjanjikan bonus dari perekrutan anggota baru atau member get member.

Lalu, memanfaatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, figur publik untuk menarik investasi. Selanjutnya klaim tanpa risiko dan legalitas yang tidak jelas.

"Tidak memiliki izin usaha, badan hukumnya juga tidak ada dan bisa jadi punya izin tapi kegiatannya tidak sesuai dengan izinnya, ini banyak juga ini," katanya.

Sementara, sebelumnya, Anggota Dewan Komisioner bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Tirta Segara menyebut ada penyebab masih maraknya investasi ilegal ini. Salah satunya karena kemudahan pembuatan aplikasi. Meski, Satgas Waspada Investasi telah berhasil menutup ribuan pinjol ilegal.

"Satgas investasi telah menutup ribuan pinjol investasi dan praktek gadai ilegal Namun demikian ribuan pula investasi dan pinjol ilegal yang muncul di media digital," katanya dalam webinar yang digelar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Kamis (10/2/2022).

Ia menduga, caranya dengan mereplikasi aplikasi yang ada kemusian ini menjadi pendorong meluasnya praktik pinjol dan investasi ilegal. Ia melihat penawaran pinjaman dan investasi ilegal itu hanya dilakukan di lingkungan sekitar.

"Dengan perkembangan dunia digital penawaran pinjaman atau investasi dapat di dapat dilakukan tanpa mengenal batas wilayah atau cross-border dan tanpa mengenal batas waktu," katanya.

"Lebih dari itu, dengan bantuan teknologi mereka tidak memerlukan kantor, ini para investor tadi tidak memerlukan kantor yang representative dan SDM yang banyak jumlahnya, dengan bantuan teknologi informasi konsumen dengan tingkat literasi yang rendah dapat dicangkok dari mana saja dan kapan saja," imbuhnya.

Kemudahan pembuatan aplikasi ini pula yang ikut mendorong banyaknya pelaku usaha kecil yang tergiur dengan janji-janji kemudahan pembaiayaan. Apalagi, dengan kondisi ekonomi pengusaha kecil yang sedang mencoba bangkit dari pandemi.

Ia menyebut, misalnya di pengusaha skala ultra mikro yang usahanya layak mendapat pembiayaan tapi tak memenuhi syarat mendapat pinjaman dari bank. Sehingga cenderung memilik pinjol sebagai alternatif pembiayaan.

"Meskipun mereka tidak dapat membedakan mana yang legal mana yang ilegal, terlebih lagi dalam masa atau pasca pandemi banyak yang usahanya terpuruk dan sangat membutuhkan pembiayaan untuk bangkit kembali," ujarnya.

Kesulitan akses ini juga dipengaruhi dengan adanya kebijakan dari jasa keuangan yang justru melakukan restrukturisasi pembiayaan lama. Dan cenderung menyetop untuk membuka pembiayaan baru.

"Padahal kebutuhan pembiayaan ini juga dikonfirmasi oleh survei BPS tahun 2020 yang menyebutkan bahwa modal usaha merupakan bantuan yang paling dibutuhkan oleh UMKM dalam menghadapi pandemi," katanya.

"Namun demikian dari 83,7 persen yang membutuhkan bantuan hanya 16 persen yang menerima bantuan," tambah Tirta.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.