Sukses

Penurunan Daya Beli Pukul Industri Rokok Elektrik

Pertumbuhan produk rokok elektrik tak diimbangi dengan kenaikan permintaan.

Liputan6.com, Jakarta - Produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) terus tumbuh di Tanah Air. Namun sayangnya pertumbuhan produk rokok elektrik tersebut tak diimbangi dengan kenaikan permintaan.

Ketua Aliansi Pengusaha Penghantar Nikotin Elektronik Indonesia (Appnindo) Roy Lefrans Wungow mengatakan pada 2019, investor sejatinya melihat industri HPTL sangat menjanjikan, sehingga banyak produsen baru bermunculan di awal 2020. Itu sebabnya penerimaan cukai sepanjang 2020 separuhnya ada di kuartal pertama yaitu sebesar Rp350 miliar.

Pada Maret 2020, pandemi menghantam seluruh perekonomian yang berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Alhasil di kuartal-kuartal berikutnya penerimaan negara dari cukai HPTL rata-rata hanya Rp113 miliar per kuartal.

"Jadi penambahan produk baru itu tidak diimbangi oleh demand pasar, sehingga masih banyak produk yang sudah ditempeli pita cukai belum terjual," ujar Roy seperti dikutip, Selasa (9/2/2021).

Dia menuturkan para produsen HPTL biasanya memesan pita cukai di awal tahun sesuai dengan perkiraan target penjualan selama satu tahun.

"Setelah membeli pita cukai dan ditempeli di produk, produknya belum terjual ke konsumen. Jadi masih menumpuk di toko dan gudang karena daya beli konsumen sedang turun," kata Roy.

Sementara itu, Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) meminta dukungan pemerintah terhadap industri Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) yang mengalami lesunya penjualan produk akibat penurunan daya beli masyarakat selama pandemi Covid-19.

Ketua Umum AVPI, Aryo Andriyanto mengaku khawatir jika pada tahun ini banyak produk HPTL yang tidak terserap pasar. Apalagi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia pada 2021 masih akan tetap tertekan akibat dampak lanjutan pandemi.

"Dukungan itu bisa bentuknya regulasi atau kemudahan lainnya. Misalnya dari sisi tarif cukai, kami berharap pemerintah dapat mempertahankan besaran tarif cukai yang ada saat ini," ujar Aryo dikutip dari Antara, Senin (8/2).

Dengan adanya dukungan dari pemerintah, lanjut Aryo, diharapkan dapat mendukung pertumbuhan industri yang mayoritas merupakan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Aryo menuturkan selain mengalami kelesuan penjualan, para produsen HPTL juga terkena denda dari pemesanan cukai yang belum ditebus atau dibeli di Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pita Cukai

Seperti diketahui, setiap pemesanan cukai di awal tahun maka produsen atau pabrik harus mengeksekusi pembelian pita cukai tersebut di tahun itu juga. Jika tidak, maka akan dikenakan denda Rp300 per pita cukai.

Aryo mengatakan, anggota AVPI tahun lalu melakukan pemesanan cukai sekitar 4 juta lembar. Angka itu belum termasuk produsen lain di luar anggota AVPI yang jumlahnya lebih besar.

"Jadi ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah terkena efek pandemi, kami juga kena denda dari pemesanan cukai yang belum dieksekusi pembeliannya," kata Aryo.

Oleh karena itu, lanjutnya, para penjual ritel di awal tahun ini masih banyak yang menggunakan pita cukai tahun 2020.

Penerimaan negara dari cukai HPTL sendiri mengalami kenaikan dalam tiga tahun terakhir. Penerimaan cukai HPTL pada 2018 adalah Rp99 miliar. Lalu naik 331,1 persen menjadi Rp427,01 miliar di 2019. Pada 2020 kembali naik 59,2 persen menjadi Rp689 miliar. DJBC mencatat setidaknya ada 220 pabrik HTPL yang melakukan pemesanan cukai di tahun 2020.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.