Sukses

Luhut Ungkap Presiden Pertanyakan Sebab 4 Tahun Tak Ada Kilang Terbangun

Pembangunan kilang sangat penting untuk mengurangi impor BBM.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah terus berupaya meredam defisit transaksi berjalan, diantaranya dengan mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM). Namun salah satu solusi dengan membangun fasilitas pengelolaan minyak (kilang) belum mengalami kemajuan.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pembangunan kilang sangat penting untuk mengurangi impor BBM.

Bahkan dia menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menanyakan karena sudah empat tahun masa pemerintahannya, belum ada kilang yang terbangun.

"Pembangunan kilang saya kira penting. Presiden pun galau, karena sudah 4 tahun jadi Presiden belum ada yang jadi pembangunan kilang," kata Luhut, saat menghadiri Pertamina Energy Forum, di Jakarta, Kamis (29/11/2018).

Menurut Luhut, pembangunan kilang seharusnya tidak mundur. Dia pun mendorong terbangunnya industri petrokimia untuk mengelola produk turunan yang dihasilkan kilang.

"Saya minta jangan mundur lagi, karena saya sudah tiga tahun dorong petrokimia yang nggak jalan-jalan," tutur dia.

Peremajaan dan keberadaan kilang baru tentunya akan mengurangi impor ‎BBM. Hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah yang berujung dapat meredam defisit transaksi berjalan.

Selain mengandalkan kilang, upaya pengurangan impor yang sudah dilakukan pemerintah adalah menerapkan perluasan campuran 20 persen biodiesel dengan ‎solar non subsidi.

"CAD (Current Account Defisit) kita sangat terpengaruh dengan impor minyak. CAD kita tahun ini akan dekat USD 24 miliar tahun lalu USD 17 miliar. Tujuannya adalah me-minimize impor oil kita karena CAD kita," tandasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

2 Kilang Pertamina Bakal Dimodifikasi Hasilkan Solar Nabati

PT Pertamina (Persero) tengah menyiapkan proyek kilang ramah lingkungan atau green refinery project yang  memproduksi bahan bakar diesel nabati 100 persen (B100). 

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, Pertamina akan mengoptimalkan kilang yang sudah ada untuk mengimplementasikan proyek tersebut, sebagai upaya mengoptimalisasi aset yang ada dan  efisiensi investasi karena tidak perlu membuat kilang baru.

“Investasi pengembangan kilang, salah satunya kilang Dumai,” kata Nicke saat menghadiri Pertamina Energy Forum, di Jakarta, Rabu (28/11/2018).

Nicke mengungkapkan, investasi untuk pembuatan kilang baru butuh sekitar USD 3,5 miliar. Sedangkan jika mengoptimalisasi kilang yang sudah ada ‎maka akan menghemat 40 persen dari investasi kilang baru.

"Dengan memodifiksi kedua kilang Pertamina, akan menghasilkan biodiesel dan juga biofuel. Ini berbeda dengan produksi sebelumnya yang menghasilkan solar dan Bahan Bakar Minyak (BBM)," paparnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution‎ menambahkan, jika program tersebut terlaksana, Pertaminabisa menjadi pemimpin dalam produksi B100. Hal ini disampaikan oleh  dalam paparannya pada Pembukaan PEF 2018.

“Kami berharap Pertamina sebagai batu penjuru serta pemimpin dalam mengembangkan B20 (biodiesel),” ungkapnya.

Sebelumnya, Pertamina perusahaan menandatangani perjanjian  minyak dan gas multinasional Italia yaitu ENI S.p.A. Kerjasama ini untuk menjajaki bisnis hilir minyak dan gas. Dalam perjanjian itu termasuk potensi untuk mengembangkan kilang hijau dan peluang perdagangan bisnis di minyak dan gas, dan produk lainnya.

Penandatanganan yang dilakukan pada 21 September di Porto Marghera, Venesia oleh Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati dan Chief Refining dan Marketing Officer ENI, Giuseppe Ricci disaksikan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara Indonesia, Rini Soemarno.

Kolaborasi dalam kilang hijau ini relevan dengan komitmen Pertamina untuk memasok bahan bakar dengan campuran biodiesel 20 persen (B20), sebagaimana diamanatkan oleh pemerintah Indonesia. Setelah B20, Pemerintah juga optimistis akan berlanjut menuju B100.

Saat ini Indonesia mengkonsumsi sekitar 1,6 juta barel per hari (bph), sementara produksi dalam negeri hanya mencapai sekitar 800 ribu bph, oleh karena itu Indonesia harus mengimpor untuk menutupi kekurangan tersebut. Produksi minyak menurun dan hanya akan mempercepat jika tidak ada investasi besar untuk melakukan eksplorasi baru untuk menambah cadangan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.