Sukses

Sempat Tembus 14.800 per USD, Rupiah Sentuh Level Terendah Sejak Krisis

Pelemahan rupiah telah mencapai 8,7 persen sejak awal tahun.

Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar rupiah terpuruk ke titik terendah dalam 20 tahun terhadap dolar AS. Ini dipicu investor yang melepas aset pasar negara berkembang seiring penurunan mata uang peso Argentina.

Mengutip laman Asia Nikei, Sabtu (1/9/2018), rupiah sempat melemah hingga menyentuh 14.840 terhadap Dolar AS pada Jumat tengah malam. Ini merupakan posisi terendah rupiah terhadap dolar sejak Juli 1998, setelah krisis keuangan melanda Asia.

Bank Indonesia diketahui telah melakukan intervensi untuk menopang mata uang. "Komitmen Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas ekonomi sangat kuat, terutama stabilitas nilai tukar rupiah... kami mengintensifkan atau kami meningkatkan ... volume intervensi di pasar forex," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.

Aksi jual terakhir didorong penurunan peso Argentina pada Kamis, yang jatuh ke rekor terendah terhadap dolar, bahkan ketika bank sentral negara menaikkan suku bunga utamanya sebesar 1.500 basis poin menjadi 60 persen. Langkah ini memicu kekhawatiran baru dari aset pasar negara berkembang di kalangan investor internasional.

Mata uang Garuda telah jatuh sejak awal tahun, di tengah kekhawatiran meningkatnya ketegangan perdagangan antara AS dan China, serta krisis keuangan yang melanda Turki.

Pelemahan rupiah telah mencapai 8,7 persen sejak awal tahun, meskipun Bank Indonesia menaikkan suku bunganya dengan total 125 basis poin sejak Mei.

Meski demikian, Perry menekankan bahwa kondisi ekonomi Indonesia masih kuat dan tahan. Bank Sentral juga akan terus mewaspadai apa yang terjadi di negara lain, termasuk Turki dan Argentina.

Indonesia, dinilai rentan terhadap aksi jual besar pada saat terjadi tekanan pasar karena fundamental ekonomi. Apalagi defisit transaksi berjalan negara saat ini melebar menjadi USD 8 miliar pada kuartal kedua tahun ini.

Frances Cheung, Kepala Strategi Makro Asia untuk Westpac, mengatakan rupiah terkena tekanan ganda. Pada saat rupiah Indonesia mulai terdepresiasi, pasar obligasi lokal tidak benar-benar mengantisipasi dengan baik sehingga risiko aliran modal keluar menjadi besar.

Reuters melaporkan jika Bank Indonesia, telah mengintervensi pasar obligasi dan valuta asing yang membantu membatasi tekanan pasar.

Eric Wong, Manajer Portofolio Pendapatan Tetap di Fidelity, mengatakan dia ingin menambah eksposur investasi di Indonesia, dengan fokus khusus pada obligasi berdenominasi dolar kuasi-berdaulat, terlepas dari anjloknya rupiah.

 

* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini

 

 

 

Tonton Video Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ekonom Usul Ini agar Rupiah Perkasa Hadapi Sentimen Eksternal

Pemerintah dinilai perlu fokus pada kebijakan jangka panjang untuk stabilkan nilai tukar rupiah di tengah sentimen eksternal yang berkepanjangan.

Ekonom UI, Lana Soelistianingsih mengatakan, pemerintah kini dalam posisi yang dilematis. Meski pemerintah telah menerapkan beberapa kebijakan untuk menekan defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD), sentimen eksternal dipandang memainkan peran besar pada fluktuasi nilai tukar rupiah ke depan.

"Instrumen dari Bank Indonesia (BI) sendiri itu memang terbatas ya. Yang paling cepat memang naikkan suku bunga, atau kedua bisa menjual valas dan menarik rupiah. Menarik rupiah ini  BI bisa menjual obligasi atau surat utang," tutur dia saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (31/8/2018).

Sedangkan untuk menjual valuta asing (valas) ini, menurut Lana, BI dapat mengoptimalkanya melalui industri perbankan.

"BI bisa intervensi lewat bank-bank, intinya BI menarik rupiah juga dengan menjual dolar. Otomatis harga dolar bisa agak turun, rupiahnya naik. Tapi efeknya cadangan devisa kita turun," ujar dia. 

"Jadi memang dilematis juga, karena pilihannya terbatas. Masalahnya tekanan eksternalnya ini yang enggak selesai-selesai. Jadi memang perlu pembenahan struktural atau jangka panjang," tambah Lana.

Lana menekankan, Indonesia perlu kebijakan yang berfokus pada kepentingan jangka panjang, mengingat ketidakpastian global yang mungkin terjadi kembali.

"Misal substitusi impor, misalnya pabrik bahan baku obat yang masih impor, bagaimana kalau dibuat pabrik bahan bakunya di Indonesia, tapi ini efeknya juga baru kerasa 3 tahun yang akan datang, tapi harus dilakukan, karena kalau enggak isunya berulang-ulang saja seperti ini," kata dia. 

Lana menambahkan, pemerintah juga telah berupaya dengan pembatasan impor dengan evaluasi tarif pajak penghasilan (PPh) impor 900 komoditas. "Ini juga akan dilakukan tapi efeknya baru kerasa mungkin 2019-2020. Namun, intinya memang perlu dilakukan, kalau enggak 3 tahun ke depan akan terulang lagi," kata dia.

Senada, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djayadi menyatakan, depresiasi rupiah lebih disebabkan oleh sentimen eksternal. Sedangkan untuk obligasi dan pasar saham RI, Inarno mengungkapkan bahwa hal ini masih dalam situasti yang positif.

"Sebetulnya pelemahan rupiah kemarin itu lebih banyak karena eksternalnya ya. Krisis Argentina itu mata uangnya turun sampai tujuh persen dalam satu hari saja loh, terus Turki Lira juga turunnya luar biasa," ujar dia.

"Jadi dari sisi saham dan obligasi itu sebetulnya inflow masih hijau. Pelemahan rupiah awal-awalnya bukan dari saham dan obligasi, bukan dari pasar modal, itu lebih ke arah eksternal," tutur dia.

 

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.