Sukses

Pacu Ekspor Minyak Sawit, RI Jajaki Kerja Sama Dagang dengan Maroko

Indonesia akan mengadakan perundingan kerja sama perdagangan dengan Tunisia dan Maroko untuk meningkatkan ekspor CPO.

Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) bersama Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan memulai perundingan kerja sama perdagangan produk sawit dengan dua negara di Afrika, yakni Tunisia dan Maroko.

"Setelah Lebaran, tim kita bersama Kemendag ke Tunisia, Maroko, ke pasar baru (negara lain). Pasar baru dicari dan dipertahankan, dijaga. Tunisia itu mulai perundingan, di samping kita bikin bisnis forum," ungkap Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono di Hotel Shangri-La, Jakarta, Kamis (31/5/2018).

Dia menjelaskan, Afrika merupakan potensi pasar besar untuk produk CPO atau minyak sawit Indonesia. Sebab, jumlah penduduk di benua Afrika cukup besar, namun produksi CPO-nya masih kecil. 

"Afrika secara penduduk besar sekali. Satu negara bisa 60 juta sampai 80 juta. Tahun lalu ke Nigeria, 80 juta dan produksi di sana kecil," kata dia.

Ekspor CPO ke Afrika pun dapat dibilang menjanjikan. Dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhan tahunan ekspor CPO ke Afrika tumbuh di atas 10 persen.

"Masih kecil-kecil (untuk setiap negara), tapi kalau digabung totalnya tinggi. Sekarang masih digabung Afrika. Dalam tiga tahun terakhir naik konsisten. Ekspor CPO tiap tahun di atas 10 persen lah," tandasnya.

 

Reporter : Wilfridus Setu Embu

Sumber : Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Menko Luhut Lawan Hoaks dan Boikot Sawit RI oleh Eropa

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitanmenyatakan, kelapa sawit telah menjadi sasaran hoaks yang cukup mengemuka di dunia, termasuk di Eropa. Jika tidak diluruskan, maka Indonesia akan terkena dampak negatifnya terutama dengan nasib 2,3 juta petani kecil di Indonesia dan 17,5 juta pekerja di sektor sawit.

“Ternyata terhadap data itu istilah halusnya banyak dilakukan distortion of fact, nah itu yang banyak dilakukan negara-negara di Eropa ini,” kata Luhut dalam keterangan resminya di Jakarta, pada 17 Mei 2018.

“Sekarang ini kita kembali menyajikan data bahwa aturan nomor satu dari WTO itu keadilan, jadi tidak boleh ada diskriminasi,” dia menegaskan. 

Dalam melawan hoaks minyak kelapa sawit Indonesia, Luhut mendapat dukungan dari dua badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu Food and Agriculture Organization (FAO) dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) yang terkait masalah kemanusiaan, kemiskinan, kelaparan, agrikultur, dan peningkatan taraf hidup.

“Dukungan IFAD dan FAO banyak. Nanti seperti IFAD itu akan konferensi back to back di Bali. Sementara itu, mereka juga akan melakukan lobi, begitu juga FAO,” ujar Luhut. 

Lebih jauh dia menjelaskan, dukungan itu diberikan karena semua pihak sepakat dengan prinsip Sustainable Development Goals yang target nomor satunya adalah pengentasan kemiskinan.

“Masalah kelapa sawit ini masalah yang harus diselesaikan secara terintegrasi, karena itu menyangkut masalah kemiskinan itu adalah kaitannya dengan SDGs itu nomor satu kemiskinan,” paparnya.

3 dari 3 halaman

Selanjutnya

Sebagai hasil akhirnya, Menko Luhut berharap publik mendapatkan perbandingan tiga produk utama pertanian yang menghasilkan minyak tersebut.

“Jadi kalau memang harus disaingkan ya tidak apa-apa, palm oil disaingkan sunflower atau dengan soybean. Padahal biji bunga matahari dan kedelai itu kan kurang efektif bila dibanding palm oil,” Luhut menerangkan. 

Masalahnya, perbandingan yang adil tidak pernah muncul karena kampanye negatif yang memberikan stereotip bahwa minyak sawit berdampak pada kerusakan hutan, membahayakan kesehatan manusia, dan mengganggu habitat hewan yang dilindungi.

Justru fakta kontribusi industri sawit yang dapat menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan di negara-negara berkembang, terabaikan. Jika kampanye yang tidak berkeadilan ini tidak di atasi, maka kendala terdekat bagi Indonesia akan terjadi pada 2021, di mana parlemen Uni Eropa melarang impor sawit untuk penggunaan biofuel dan bioliquids, termasuk biodiesel.

“Buat Indonesia ada hasil penelitian dari Stanford itu menunjukkan memang yang paling banyak mengurangi kesenjangan kita dari 0,41 ke 0,39 itu adalah minyak kelapa sawit salah satunya yang paling besar. Kalau itu terganggu ini akan merusak nanti beberapa juta orang terkait masalah kemiskinan,” tutup Luhut. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini