Sukses

Bitcoin Jepang Dibobol, BI Ingatkan Pengguna Mata Uang Virtual

Facebook juga sudah menyatakan dengan tegas tidak akan memfasilitasi berbagai iklan menayangkan bitcoin.

Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) kembali mengingatkan masyarakat dan para pemilik mata uang virtual (virtual currency), terutama bitcoin untuk tidak mentransaksikannya. Hal ini pasca terjadinya pembobolan sistem bitcoin di Jepang, pada minggu lalu.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Onny Widjanarko menjelaskan dari kasus peretasan (hacking) tersebut setdaknya masyarakat Jepang mengalami kerugian hingga US$ 530 juta.

"Jepang sudah kena hack, ini jangan sampai terjadi di Indonesia. Kalau sudah terjadi kan susah. kalau sudah seperti itu masyarakat mau mengadu kemana, kan tidak ada otoritasnya," kata Onny di Gedung Bank Indonesia, Rabu (31/1/2018).

Tidak hanya itu, Onny menuturkan, Facebook juga sudah menyatakan dengan tegas tidak akan memfasilitasi berbagai iklan menayangkan bitcoin. Dari berbagai penolakan ini, terbukti resiko penggunaan bitcoin ini sangat tinggi. Terlebih fluktuasi harganya yang sangat beresiko.

"Apapun itu kalau naiknya tinggi, pasti kalau jatuh akan sakit sekali. Begitu juga dengan bitcoin yang nilainya naik tinggi," tambahnya.

Seperti diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) akan mendukung rencana Bank Indonesia (BI) mengatur transaksi bitcoin. Hal ini menyusul maraknya transaksi bitcoin di Indonesia.

Demikian disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di sela-sela acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta. "Saya dukung, kalau dilarang ya saya block, kalau tidak dilarang tidak di-block," kata dia.

Rudiantara berpendapat, bitcoin merupakan komoditas barang. Bitcoin bukanlah alat transaksi mata uang.

"Bitcoin ini kan komoditas barang, bukan alat transaksi denominasi mata uang, bukan digital currency bitcoin kalau menurut saya," ujar dia.

Dia melanjutkan, akan mengikuti kebijakan BI dalam mengatur transaksi bitcoin. Sejalan dengan itu, dia juga mengimbau masyarakat agar berhati-hati dalam memanfaatkan bitcoin.

"Masyarakat kita juga perlu diedukasi, saya meminta tolong teman-teman hati-hati. Kenapa? Karena bitcoin tidak tahu di belakangnya siapa. Dalam arti, komoditas beli, saya tercatat saya membeli, tapi saya membeli tidak ke mana-mana," tutur dia. 

Tonton Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Menguji Kelayakan Bitcoin Sebagai Mata Uang

Fenomena bitcoin mencuri perhatian masyarakat saat ini. Bagaimana tidak, bitcoin yang dikenal sebagai mata uang digital tersebut nilainya telah melonjak berkali-kali lipat. Lantas, layakkah bitcoin menjadi sebuah alat tukar maupun investasi?

Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai, bitcoin tak layak sebagai mata uang maupun alat investasi.

"Kalau currency yang kita kenal uang tunai, hard case atau bisa dengan kartu. Sekarang itu Bitcoin beda, makanya saya termasuk menolak. Menurut saya termasuk investasi bodong," kata dia dalam acara Seminar Sehari Melek Investasi di John Paul School Bekasi, Sabtu (27/1/2018).

Menurut dia, bitcoin tak layak menjadi alat nilai tukar karena tidak memiliki dasar penilaian (underlying). Hal itu berbeda dengan uang yang secara umum dipakai saat ini.

Dia pun bercerita mengenai sejarah terbentuknya uang. Dia bilang, mulanya adanya dolar Amerika Serikat (AS) tak lepas dari adanya jaminan emas.

"Sekarang saya sedikit cerita, bagaimana sejarah terbentuknya uang, rupiah, dolar. Pertama kali uang diciptakan itu harus didukung atau dibackup dengan emas, atau logam mulia bisa silver dan lain-lain. Setiap peredaran uang katakanlah dolar AS, itu The Fed simpan emas. Makin banyak uang beredar makin banyak emas disimpan. Supaya orang yang pegang uang itu percaya, bahwa uang itu ada nilainya," jelas dia.

Seiring berkembangnya zaman, emas tak mampu menjadi jaminan uang. Oleh karena itu, dasar penilaian uang pun berubah menjadi perekonomian suatu negara.

"Jadi mata uang atau currency itu dibackup oleh kepercayaan. Terhadap apa? Kepercayaaan terhadap perekonomian suatu negara. Singkat kata, kalau ekonomi membaik, rupiah menguat," jelas dia.

Hal itu sangat berbeda dengan bitcoin yang sama sekali tak punya dasar penilaian. Itu belum lagi nilainya yang sangat fluktuatif sehingga bitcoin tak memenuhi syarat sebagai mata uang.

"Satu lagi bitcoin fluktuatif atau volatil. Sama sekali tidak memenuhi sayarat sebagai currency," ujar dia.

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.