Sukses

Dolar AS Bakal Tertekan hingga Akhir 2017?

Sentimen kebijakan the Federal Reserve dan pergerakan imbal hasil surat berharga AS mempengaruhi laju dolar AS.

Liputan6.com, Jakarta - Ketika bank sentral menaikkan suku bunga maka mata uang yang bersangkutan akan menguat. Ini lantaran spekulan valuta asing akan berduyun-duyun ke negara-negara dengan tingkat suku bunga lebih tinggi. Hal itu sebagai antisipasi investor untuk mendapatkan imbal hasil tinggi dari investasi.

Akan tetapi, sejak Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terpilih pada November, the Federal Reserve telah menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali. Namun, indeks dolar AS turun ke level terendah dalam 33 bulan. Indeks dolar AS telah turun 10 persen terhadap sejumlah mata uang sepanjang 2017. Pada pekan lalu, indeks dolar AS sudah sentuh level terendah dalam 2,5 tahun.

"Mereka yang tergoda untuk menyalahkan pada prospek penurunan pertumbuhan di bawah pemerintahan AS Donald Trump ingin melihat satu indikator tertentu," ujar Chief Markets Strategist BNY Mellon, Simon Derrick seperti dikutip dari laman Marketwatch, Rabu (13/9/2017).

The Federal Reserve memangkas suku bunga pada 2001 untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Inflasi diharapkan mencapai 2,8 persen. "Ini diperkirakan dolar Amerika Serikat tertekan tetapi malah terhenti. Ini berkat imbal hasil surat berharga," kata Derick.

Penurunan itu tidak terjadi hingga kuartal II 2002. Ketika imbal hasil surat utang turun seiring inflasi melemah, akibatnya jarak imbal hasil surat berharga AS dua tahun dengan 10 tahun melebar.

"Dengan imbal hasil surat berharga yang tinggi sulit ditemukan investor obligasi sehingga sulit tertarik ke surat berharga AS yang bertenor jangka panjang. Dolar AS pun mulai menurun," tulis Ferrick.

Namun lambatnya imbal hasil surat berharga menunjukkan penurunan dolar AS. Tren ini pun berlanjut. Memang harapan inflasi melonjak usai pemilihan Presiden AS yang dimenangkan Trump mendorong reli mata uang dolar AS.

Investor menjual surat berharga jangka panjang karena kekhawatiran rencana Presiden AS Donald Trump yang pro bisnis sehingga memicu inflasi dan berdampak negatif terhadap surat berharga.

Akan tetapi, tak sesuai yang diharapkan. Inflasi di AS melambat. Imbal hasil surat berharga bertenor 10 tahun ke level terendah dalam 10 bulan. "Dengan kombinasi kenaikan suku bunga jangka pendek didorong ekspektais kenaikan suku bunga the Fed, imbal hasil surat berharga flat, diimbangi penurunan indeks dolar AS," jelas Derrick.

Bila bank sentral tetap tertarik untuk menaikkan suku bunga dalam menghadapi inflasi yang melambat, bank sentral AS atau the Federal Reserve dapat meyakinkan pelaku pasar kalau kebijakan itu berisiko.

"Dengan the Federal Reserve berjuang untuk meyakinkan pasar kalau ada lebih dari satu kenaikan suku bunga mengirim sinyal semakin suram, dan ancaman terhadap dolar Amerika Serikat nampaknya akan tumbuh," jelas dia.

Ekonom BCA David Sumual menilai, pergerakan dolar AS lebih dipengaruhi oleh data ekonomi AS dan kebijakan the Federal Reserve soal suku bunga. David menilai, ada permainan harapan dari para fund manager kalau terpilihnya Donald Trump menjadi presiden dapat dorong pertumbuhan ekonomi AS sehingga suku bunga the Federal Reserve akan naik.

"Namun sekarang harapan agak berubah karena data ekonomi AS tidak mendukung. Baru-baru ini data pengangguran lebih tinggi dan the Federal Reserve tampaknya tidak terlalu agresif menaikkan suku bunga hingga akhir tahun," kata David saat dihubungi Liputan6.com.

David menuturkan, faktor suku bunga the Federal Reserve masih menjadi sentimen utama pengaruhi dolar AS. Diperkirakan the Federal Reserve menunda kenaikan suku bunga pada September, bahkan hingga Desember. "Ini tergantung data ekonomi (kebijakan suku bunga the Federal Reseve). Faktor the Federal Reserve masih utama," kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.