Asal-usul KRI Usman-Harun yang Diprotes Singapura

KRI Usman Harun dan 2 kapal perang lainnya itu mulanya itu merupakan pesanan Angkatan Laut Kesultanan Brunei Darussalam.

oleh Eko Huda Setyawan diperbarui 13 Feb 2014, 07:49 WIB
Penamaan KRI Usman-Harun oleh TNI Angkatan Laut menuai protes dari Singapura. Negara sempalan Malaysia ini menilai nama Usman-Harun menyakiti perasaan mereka terkait insiden pengeboman MacDonald House di Orchad Road pada 10 Maret 1965.

Usman dan Harun adalah anggota Korps Komando Operasi (KKO-sekarang Marinir). Keduanya dieksekusi gantung oleh Singapura pada 17 Oktober 1968. Keduanya dituduh menjadi pelaku peledakan di Macdonald House yang menewaskan 3 orang dan melukai 33 lainnya itu.

Oleh sebab itu, Singapura meminta nama KRI Usman-Harun diganti. Namun, Indonesia menolak. Karena nama KRI Usman-Harun diambil melalui prosedur. Lagi pula Usman dan Harun sudah menjadi pahlawan nasional Indonesia. Sehingga negara lain tak ada urusan soal nama kapal perang itu.

KRI Usman-Harun merupakan 1 dari 3 kapal perang tipe F2000 Corvette yang didatangkan Indonesia dari Inggris. Selain KRI Usman-Harun 359, Indonesia juga memberi nama 2 kapal perang lainnya: KRI Bung Tomo 357 dan KRI John Lie 358.

Mulanya, 3 kapal perang buatan BAE System Maritime-Naval Ships, Inggris, itu merupakan pesanan Angkatan Laut Kesultanan Brunei Darussalam. Ketiga kapal itu dipesan pada 1995 dalam kondisi benar-benar baru.

Ketiga kapal perang itu masing-masing awlanya bernama KDB Jerambak-30 (menjadi KRI Bung Tomo 357), KDB Nakhoda Ragam-28 (KRI John Lie 358), dan KDB Bendahara Sakam-29 (KRI Usman-Harun 359).

Galangan kapal di Scouton, Glasgow, ini menempatkan ketiga kapal perang pesanan Brunei Darussalam itu pada kelas corvette offshore patrol alias korvet patroli lepas pantai. Pemesanan Brunei itu dilatarbelakangi memanasnya konflik wilayah perairan di Laut China Selatan. China mulai mengklaim sepihak perairan strategis itu.

Brunei, bersama Malaysia, Vietnam, dan Filipina adalah negara-negara ASEAN yang berang atas kelakuan China itu. Ditambah lagi, Negeri Tirai Bambu itu kemudian secara terang-terangan memamerkan kekuatannya di wilayah yang disengketakan tersebut.

Namun di tangan Brunei, 3 kapal perang itu konon tidak pernah dioperasikan. Sumber menyatakan, kapal-kapal perang itu 'pengembangan' dari kapal perang kelas patroli berpeluncur peluru kendali yang berbasis operasi di perairan litoral (perairan yang berbatasan langsung dengan darat) belaka.

TNI AL sebenarnya sudah punya kapal kelas ini, yaitu kelas patrol ship killer, baik buatan Korea Selatan ataupun buatan dalam negeri, seperti KRI Pandrong-801 atau KRI Todak-631, yang mampu membawa peluru kendali MM-38 Block III Exocet atau peluru kendali Penguin, ataupun Sea Cat buatan Inggris.

Kontrak kepada BAE System Maritime-Naval Ships, Inggris, dimulai sejak 1995. Rancangan F2000 dimulai dan badan kapal dibangun, peluncuran berturutan pada Januari 2001, Juni 2001, hingga Juni 2002. Brunei kemudian memutuskan tidak mau menerima ketiga kapal baru pesanannya, padahal sudah dibayarkan lunas.

Versi Brunei Darussalam, mereka tidak memiliki personel pengawak untuk kapal perang seukuran panjang 89 meter, lebar 12,8 meter, dan draught 3,6 meter itu. Tiap kapal memerlukan 79 personel termasuk sang komandan kapal.

Dalam kontrak pembelian tertulis, penyerahterimaan kapal kelas KDB Nakhoda Ragam itu dilakukan pada Juni 2007 dari galangan kapal di Inggris kepada Angkatan Laut Kesultanan Brunei Darussalam. Namun, Brunei Darussalam akhirnya memutuskan memesan lagi kapal perang baru pengganti di kelas ini, dan meminta jasa galangan kapal German Lürssen untuk mencari pembeli baru 3 kapal buatan Inggris itu.

Di sinilah kemudian Indonesia hadir dan tertarik mengakuisisi kapal yang sama sekali baru namun batal diterima pemesannya itu. (Ant/Eks)

Baca juga:
Kasus Kapal KRI Usman Harun Tak Pengaruhi Bisnis RI-Singapura
Protes KRI Usman-Harun, Singapura Bisa Ganggu Diplomatik
Cerita di Balik Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya