Cara Sukarno Cegah Banjir di Jakarta

Akibat keterbatasan dana, Pemerintah Daerah DKI Jakarta hampir tak berdaya mengatasinya. Pemerintah pusat pun turun tangan.

oleh Liputan6 diperbarui 23 Jan 2014, 22:21 WIB
Sejumlah banjir besar melanda Jakarta di 20 tahun pertama kemerdekaan. Misalnya, banjir pada Februari 1960. Grogol, Jakarta Barat, menjadi kawasan terparah terdampak banjir.

Banjir mulai jadi perhatian. Namun, akibat keterbatasan dana, Pemerintah Daerah DKI Jakarta hampir tak berdaya mengatasinya. Pemerintah pusat pun turun tangan. Melalui Keputusan Presiden Sukarno No. 29/1965 pada 11 Februari 1965, dibentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir DKI Jakarta, disingkat "Kopro Banjir", sebagai badan yang khusus menangani masalah banjir di Jakarta.

Pada intinya, ada dua titik fokus Kopro Banjir. Pertama, Proyek Hilir. Ini terkat normalisasi sungai-sungai di Jakarta. Termasuk pengerukan serta pembongkaran bangunan yang menghambat aliran air sungai.

Proyek hilir ini mencakup normalisasi Sungai Cideng dan Sungai Krukut. "Sungai ini perlu dinormalisasi untuk mengamankan pengalirannya di daerah kota sehingga airnya dapat dimasukkan ke Waduk Pluit," tulis Restu Gunawan dalam Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa.

Banjir juga mengerjakan proyek hilir berjangka pendek, antara lain pengerukan Kali Angke, Sungai Pesanggrahan, Sungai Grigol, dan pembuatan saluran Muara Karang.

Hal yang juga penting adalah penataan sungai, dengan mengadakan ruang terbuka di tepi sungai selebar 6 meter agar air berjalan lancar. Juga memperbaiki tanggul serta pintu air, merawat saluran pembuangan air, serta mengeruk sampah di sungai.

Kedua, Proyek Hulu. Ini mencakup pembuatan Waduk Tebet, Waduk Melati, dan Waduk Surabaya. Pembuatan Waduk Tebet didasarkan pada pikiran bahwa Tebet merupakan daerah permukiman baru yang belum dipikirkan sistem pembuangan airnya.
2 dari 2 halaman



Pembangunan Waduk Melati untuk mengurangi beban Sungai Cideng dan Sungai Krukut. Khusus Waduk Surabaya, proyek ini tidak pernah terwujud.

Pada prinsipnya, Kopro Banjir mengembangkan konsep yang disusun pakar banjir Belanda, Herman van Breen. Konsep van Breen sebenarnya sederhana, yaitu mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air yang masuk kota.

Untuk itu, perlu dibangun saluran di pinggir kota guna menampung limpahan air dan mengalirkannya ke laut.

Namun, dalam pelaksanaannya terpaksa konsep ini disesuaikan dengan Pola Induk Tata Pengairan DKI Jakarta yang sudah ada. Karena itu, dalam pelaksanaannya, Kopro Banjir cenderung mengedepankan sistem polder yang dikombinasikan dengan waduk dan pompa.

Secara sederhana, polder adalah sebidang tanah yang rendah, dikelilingi timbunan atau tanggul. Di polder, air hujan dikumpulkan di suatu badan air (sungai, danau) lalu dipompakan ke badan air lain pada polder yang lebih tinggi. Pada akhirnya air dipompakan ke sungai atau kanal yang langsung bermuara ke laut.  

Sampai 1966, ketika Sukarno jatuh, Kopro baru menyelesaikan 20% dari rencana. Banjir masih menjadi masalah buat Jakarta.

Sistem polder, kata para pakar, gagal karena daerah-daerah yang ditetapkan sebagai daerah polder dan waduk ternyata kelak dijadikan wilayah hunian. Air tak bisa mengalir lancar ke sana sebagaimana direncanakan. (dari berbagai sumber/Yus)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya