Pembunuhan Sadis Abby Choi Bikin Perempuan China Makin Ogah Menikah

Seorang netizen mengatakan, "Tidak menikah dan tidak punya anak memang paling aman."

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 02 Mar 2023, 21:06 WIB
Ilustrasi KDRT. (dok. Pixabay.com/Tumisu)

Liputan6.com, Beijing - Dua kasus pembunuhan wanita dilaporkan telah memprovokasi reaksi di media sosial China yang menentang upaya pemerintah mendorong warganya menikah. Banyak yang berpendapat bahwa wanita terlalu sedikit mendapat perlindungan dari kekerasan dalam rumah tangga.

Kasus pembunuhan wanita pertama terjadi di pedesaan di Provinsi Henan. Seorang wanita usia 24 tahun ditikam mati suaminya selama perselisihan keluarga pekan lalu. Sang suami telah ditangkap.

Di Hong Kong, pembunuhan sadis sosialita dan model Abby Choi (28) turut memengaruhi perspektif perempuan China terkait pernikahan. Abby Choi tewas secara mengenaskan, di mana pembunuhannya diduga melibatkan mantan suami, mantan mertua, dan mantan ipar.

"Jika kamu tidak menikah, kamu dipukuli pacar. Jika kamu menikah, suami yang malah memukulimu. Jika kamu cerai, mantan suami masih memukulimu. Ada apa dengan dunia ini?" ungkap salah seorang pengguna platform Weibo.

Seorang netizen lain mengatakan, "Tidak menikah dan tidak punya anak memang paling aman."

Tagar "wanita berusia 24 tahun meninggal setelah ditikam delapan kali oleh suaminya" mencatat lebih dari 200 juta tampilan pada Selasa di Weibo. Media lokal mengatakan bahwa perempuan yang tewas di Henan bermarga Yang dan memiliki dua anak kecil.

 

 

2 dari 2 halaman

Isu Pernikahan dan Keluarga di China

Seorang pria mendorong seorang anak di kereta bayi di sebuah taman umum di Beijing, Selasa (17/1/2023). Dalam jangka panjang, para pakar PBB melihat populasi China menyusut hingga 109 juta pada tahun 2050. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Gagasan tradisional tentang pernikahan dan kewajiban terhadap keluarga tetap kuat di China, meskipun banyak kalangan muda mulai mempertanyakannya. Mereka merujuk pada pengasuhan anak yang tidak terjangkau, dukungan yang tidak memadai untuk ibu yang bekerja, dan aspirasi individualistis.

Hal itu sebagian tercermin dari meningkatnya angka perceraian.

Beberapa poster di media sosial telah menyoroti sulitnya meninggalkan pernikahan yang penuh kekerasan setelah diberlakukannya "masa tenang" wajib selama 30 hari pada tahun 2021 bagi pasangan yang ingin bercerai.

Banyak juga yang mengkritik fenomena pria lebih diprioritaskan daripada wanita, pola pikir konservatif yang umum di beberapa bagian pedesaan China. Hal tersebut telah menimbulkan ketidakseimbangan gender yang mencolok dalam populasi China karena aborsi selektif jenis kelamin selama beberapa dekade kebijakan satu anak.

China sendiri memiliki sekitar 722 juta laki-laki dan 690 juta perempuan. Tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam enam dekade, populasi negara itu dilaporkan menurun. Fakta itulah yang kemudian memicu berbagai upaya dari pemerintah, termasuk mendorong pernikahan dan punya anak.

Oktober tahun lalu China mengesahkan undang-undang baru tentang perlindungan perempuan yang menargetkan diskriminasi gender dan pelecehan seksual, namun di lain sisi, undang-undang itu juga menyerukan perempuan untuk "menghormati nilai-nilai keluarga".

Perundang-undangan itu muncul ketika para aktivis menyatakan keprihatinan tentang meningkatnya retorika pemerintah yang mempromosikan peran tradisional perempuan, yang dipandang oleh sebagian orang sebagai kemunduran bagi hak-hak perempuan.

Infografis Journal Fakta terkait KDRT di Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya