China Minta AS Berhenti Politisasi dan Jadikan Isu Ekonomi Sebagai Senjata

China pada Senin (28/11) mendesak Amerika untuk “berhenti mempolitisasi dan mempersenjatai” isu-isu ekonomi.

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Nov 2022, 07:03 WIB
Bendera AS dan China berkibar berdampingan (AP/Andy Wong)

Liputan6.com, Beijing - China pada Senin (28/11) mendesak Amerika untuk “berhenti mempolitisasi dan mempersenjatai” isu-isu ekonomi setelah badan pemantau telekomunikasi Amerika mengumumkan larangan penjualan peralatan komunikasi yang dibuat perusahaan China, Huawei dan ZTE, dengan alasan “risiko yang tidak dapat diterima” untuk keamanan nasional.

Komisi Komunikasi Federal (Federal Communications Commission) FCC yang beranggotakan lima orang Jumat lalu (25/11) mengatakan pihaknya telah memutuskan dengan suara bulat untuk mengadopsi aturan baru yang akan memblokir impor atau penjualan produk-produk teknologi tertentu yang berpotensi menimbulkan risiko keamanan terhadap infrastruktur penting Amerika.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian, dalam jumpa pers harian, menolak langkah itu dengan mengatakan Amerika Serikat harus “memperbaiki pendekatannya yang salah” dan “membangun lingkungan bisnis yang adil, setara, dan non-diskriminatif bagi semua perusahaan, termasuk bisnis China.”

“China akan terus membela hak dan kepentingan sah perusahaan-perusahan China secara tegas,” tambahnya tanpa memberi rincian lebih jauh, dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (30/11/2022).

Ini merupakan eskalasi terbaru dari pembatasan yang diberlakukan Amerika terhadap teknologi China selama bertahun-tahun, yang diawali dari Presdien Donald Trump dan berlanjut di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden.

2 dari 4 halaman

Amerika Serikat Dukung Demonstrasi Warga China Tolak Lockdown COVID-19

Bendera Amerika Serikat (AP PHOTO)

Amerika Serikat mendukung hak orang untuk melakukan protes secara damai di China. Hal ini disampaikan oleh Gedung Putih atas aksi pengunjuk rasa di beberapa kota di China telah berdemonstrasi menentang tindakan berat COVID-19.

Dilansir Channel News Asia, Selasa (29/11/2022), olisi China pada hari Senin memperketat keamanan di lokasi protes akhir pekan di Shanghai dan Beijing, setelah kerumunan di sana dan di kota-kota China lainnya dan di sejumlah kampus universitas menunjukkan pembangkangan sipil yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak pemimpin Xi Jinping mengambil alih kekuasaan satu dekade lalu.

"Kami sudah lama mengatakan setiap orang memiliki hak untuk melakukan protes secara damai, di sini di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Ini termasuk di RRC (Republik Rakyat China)," kata Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih dalam sebuah pernyataan.

Amerika Serikat menyatakan fokus pada "apa yang berhasil" untuk memerangi virus corona, termasuk dengan meningkatkan tingkat vaksinasi.

"Kami pikir akan sangat sulit bagi Republik Rakyat Tiongkok untuk dapat menahan virus ini melalui strategi nol-COVID mereka," kata NSC.

Awal bulan ini, Presiden Joe Biden mengadakan pembicaraan langsung dengan Xi di Bali, dan tanggapan Gedung Putih tampaknya menunjukkan keinginan untuk mengambil jalan yang hati-hati dan menghindari memperburuk situasi.

3 dari 4 halaman

Reaksi Joe Biden?

Konferensi pers Joe Biden usai rapat darurat dengan pemimpin G7 dan NATO. (AP/Screenshot)

Diminta reaksi Biden terhadap pengunjuk rasa yang menyerukan Xi untuk mundur, juru bicara keamanan nasional Gedung Putih John Kirby kemudian mengatakan dalam jumpa pers: "Presiden tidak akan berbicara untuk pengunjuk rasa di seluruh dunia. Mereka berbicara untuk diri mereka sendiri."

Sebaliknya, Kirby mengatakan di awal bulan bahwa Biden mengekspresikan solidaritas dengan pengunjuk rasa di Iran dengan mengatakan pada rapat umum politik bahwa "kami akan membebaskan Iran".

Kirby mengatakan Biden selalu mendapatkan informasi terbaru tentang apa yang terjadi di dalam China dan "tetap memperhatikan aktivitas protes". Dia mengatakan pemerintah mengawasi demonstrasi dengan cermat, dan bahwa China tidak meminta vaksin dari Amerika Serikat.

Beijing dan Washington telah menangani penyebaran pandemi virus corona dengan cara yang sangat berbeda, perpecahan yang mengubah persaingan antara dua ekonomi terkemuka dunia.

4 dari 4 halaman

Kebijakan Nol COVID

Polisi dan orang-orang digambarkan dalam bentrokan di Shanghai pada 27 November 2022, di mana protes terhadap kebijakan nol-COVID China terjadi pada malam sebelumnya menyusul kebakaran mematikan di Urumqi, ibu kota wilayah Xinjiang. (Foto: AFP/Hector Retamal)

Kebijakan nol-COVID Beijing telah membuat jumlah kematian resmi China mencapai ribuan, dibandingkan lebih dari satu juta di Amerika Serikat, tetapi harus dibayar dengan mengurung jutaan orang untuk waktu yang lama di rumah, menyebabkan gangguan dan kerusakan yang luas pada ekonomi China. ekonomi.

Sebelumnya di masa pandemi, kedua negara berusaha untuk memperkuat pengaruh geopolitik mereka melalui distribusi vaksin.

Infografis Amerika Serikat dan China Terancam Perang Dingin? (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya