Eks Menkeu AS : Suku Bunga The Fed Harus Naik Sampai 5 Persen Bila Mau Taklukkan Inflasi

Mantan Menteri Keuangan AS Larry Summers mengatakan bahwa suku bunga The Fed mungkin harus naik menjadi 5,5 persen, agar inflasi bisa sesuai dengan target 2 persen.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 02 Nov 2022, 13:50 WIB
Ilustrasi the Federal Reserve (Brandon Mowinkel/Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat Larry Summers menyebutkan bahwa ada risiko yang jauh lebih besar terhadap ekonomi jika Federal Reserve tidak melakukan banyak upaya untuk menurunkan inflasi

"Bahkan jika ada penurunan ekonomi atau resesi, saya tidak berpikir ada alasan untuk berpikir bahwa The Fed memiliki prospek nyata untuk mendorong inflasi secara tahan lama di bawah (target inflasi mereka) 2 persen tanpa lebih banyak tindakan," kata Summers, dikutip dari CNN Business, Rabu (2/11/2022).

Kepada Wolf Blitzer dari CNN dalam segmen The Situation Room, Summers mengungkapkan bahwa prediksi terbaiknya adalah suku bunga mungkin harus naik menjadi 5,5 persen, jika Amerika mengharapkan prospek signifikan untuk memulihkan inflasi ke tingkat target yang ditetapkan The Fed. 

Seperti diketahui, suku bunga pinjaman acuan bank sentral AS saat ini berada di antara 3 persen dan 3,75 persen.

Pernyataan Summers tentunya bertolak belakang dengan serangkaian pendapat ekonom lainnya bahwa The Fed perlu menghentikan kenaikan suku bunga yang agresif untuk mencegah resesi.

Sejumlah tokoh ekonomi, termasuk CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon hingga pendiri Amazon Jeff Bezos, mengatakan mereka khawatir resesi akan segera terjadi.

Pasar, sementara itu, telah jatuh secara signifikan tahun ini. Summers setuju bahwa kemungkinan besar akan ada resesi tahun depan, dan mendorong masyarakat AS untuk menyadari datangnya masa-masa yang lebih sulit di masa mendatang.

Summers menyarankan, mereka yang khawatir pada resesi harus memastikan untuk mengatur kapasitas pinjaman dan menghindari pengambilan risiko keuangan.

2 dari 3 halaman

Mantan Menkeu AS Juga Yakin Negaranya Masuk Jurang Resesi

Pejalan kaki melewati papan nama yang menawarkan uang tunai untuk barang berharga di luar toko gadai di Los Angeles, Jumat (11/3/2022). Laju inflasi AS pada Februari 2022 melonjak ke level tertinggi dalam 40 tahun didorong naiknya harga bensin, makanan dan perumahan. (Patrick T. FALLON/AFP)

Beberapa waktu sebelumnya, Larry Summers telah mengatakan bahwa ada kemungkinan besar Amerika memasuki resesi tahun depan.

Dilansir dari CNN Business, Jumat (21/10/2022) Summers menyebut, resesi AS menjadi "hampir tak terelakkan" setelah tingkat inflasi tumbuh di atas 5 persen. Pada September 2022, inflasi negara ekonomi terbesar di dunia itu mencapai 8,2 persen.

Tetapi Summers memprediksi, resesi ini kemungkinan akan relatif pendek dan ringan dan AS tidak akan melihat krisis keuangan seperti yang terlihat pada tahun 2008 silam.

"Saya tentu tidak berpikir itu akan menjadi seperti krisis keuangan (2008)… atau seperti hal-hal buruk yang terjadi setelah pandemi mulai datang," ujar Summers mengatakan kepada Wolf Blitzer CNN dalam segmen The Situation Room.

Namun, beberapa penurunan ekonomi sulit dihindari. “Pengangguran kemungkinan akan naik hingga 6 persen, itu hal yang sangat nyata dan bukan hal yang mudah," ungkapnya.

"Tetapi orang-orang perlu memahami bahwa lebih baik berusaha daripada membiarkan inflasi berakselerasi dan membiarkan semua orang memperkirakan inflasi, di mana Anda akan menghadapi kesulitan yang jauh lebih besar," lanjut Summers.

Seperti diketahui, ekonomi AS telah menunjukkan tanda-tanda risiko resesi dalam beberapa bulan terakhit.

Dalam seminggu terakhir saja, sejumlah pemimpin ekonomi – termasuk CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon dan pendiri Amazon Jeff Bezos  mengatakan mereka khawatir resesi di AS akan segera terjadi.

Model probabilitas yang dijalankan oleh Ned Davis Research juga mengungkapkan, saat ini peluang 98,1 persen resesi global tahun depan.

3 dari 3 halaman

Sejumlah Ritel di AS Terancam Tak Selamat dari Resesi, Berjuang dari Kebangkrutan

Seseorang mengendarai skuter melewati toko pencairan cek dan pinjaman gaji di pusat kota Los Angeles, California, Jumat (11/3/2022). Laju inflasi AS pada Februari 2022 melonjak ke level tertinggi dalam 40 tahun. Ini didorong naiknya harga bensin, makanan dan perumahan. (Patrick T. FALLON/AFP)

Perusahaan ritel di Amerika Serikat bertahan dengan kuat selama pandemi Covid-19. Tetapi ekonomi yang melambat, yang dibaerengi dengan risiko resesi diperkirakan dapat membawa gelombang baru penutupan toko dan kebangkrutan.

Dilansir dari CNN Business, Selasa (18/10/2022) sejumlah ritel di AS, di antaranya Bed Bath & Beyond, Rite Aid, Party City, Joann dan lainnya dilaporkan menghadapi risiko kebangkrutan yang tinggi.

Ritel ternama lainnya, seperti Gap juga dilaporkan akan terpaksa menutup ratusan tokonya, kata para analis. Dan perusahaan e-commerce seperti Wayfair dan Stitch Fix yang telah memangkas pekerjanya dalam beberapa bulan terakhir mungkin akan melakukan pemangkasan lainnya.

"Perusahaan yang skating di tepi sebelum Covid mendapat penangguhan hukuman singkat ini. Sekarang kita kembali ke aturan lama,” kata Berna Barshay, analis ritel independen.

Diketahui, perusahaan-perusahaan ritel ini tengah berjuang dengan dampak lonjakan harga yang tinggi, dan pelanggan yang mengurangi pengeluaran karena lonjakan inflasi beberapa waktu lalu.

Kemudian saat inflasi menurun, terjadi penurunan kepercayaan konsumen dan kemunduran di toko-toko seperti furnitur dan pakaian jadi.

"Kami percaya banyak yang akan beralih ke diskon agresif untuk memecahkan masalah inventaris mereka, yang kemungkinan akan memicu 'perlombaan,'" kata analis Morgan Stanley dalam sebuah laporan,

"Dinamika ini akan sangat membebani margin dan memicu perlambatan pendapatan," ungkapnya.

Infografis Peringatan IMF dan Antisipasi Indonesia Hadapi Resesi Global. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya