Ancaman Resesi 2023, Awas Dampak ke Indonesia

Waspada ancaman resesi 2023.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 05 Okt 2022, 17:41 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat mengikuti rapat kerja Pemerintah dengan Banggar DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/9). Dalam rapat tersebut membahas postur sementara RUU APBN TA 2023. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ancaman resesi 2023 ikut disorot oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Resesi 2023 dikhawatirkan lebih parah dari krisis 2007-2009. 

Prediksi resesi itu dirilis oleh UN Conference on Trade and Development (UNCTAD). Semua kawasan di dunia akan terdampak, terutama negara-negara berkembang. 

"UNCTAD memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat ke 2,5 persen di 2022 dan jatuh ke 2,2 persen di 2023. Global slowdown akan membuat GDP riil masih tetap di bawah trend pra-pandemi, merugikan dunia sebesar US$ 17 triliun - hampir 20 persen pendapatan dunia," tulis laporan UNCTAD di situs resminya, Rabu (5/10/2022). 

Negara-negara yang terdampak tajam adalah negara berkembang di Amerika Latin dan negara pendapatan lemah di Afrika. 

Berdasarkan data UNCTAD, Indonesia akan menjadi negara kedua di negara G20 yang paling rugi dalam hal kehilangan potensi ekonomi. Posisi Indonesia tepat berada sebelum Rusia yang sedang kena sanksi internasional.

Perhitungan hilangnya potensi ekonomi di resesi 2023. Dok: UNCTAD

Ketua UNCTAD Rebeca Grynspan berkata masih ada harapan bagi dunia. Namun, butuh kemauan politik untuk mewujudkan hal tersebut.

"Masih ada waktu untuk mundur dari ujung resesi," ujar Rebeca Grynspan. "Ini adalah masalah pilihan kebijakan dan kemauan politik," kata Grynspan.

Salah satu dari tiga solusi yang diminta UNCTAD adalah agar para bank sentral di negara maju untuk menaikkan tingkat suku bunga.

Lebih lanjut, para negara maju diminta agar menghindari kebijakan pengeluaran yang ketat (austerity). Para organisasi internasional turut diminta membuat arsitektur multilateral agar negara-negara berkembang bisa memiliki ruang fiskal yang lebih besar dan mendapat proses pengambilan keputusan yang lebih adil.

2 dari 4 halaman

Efek Invasi Rusia

Presiden Rusia Vladimir Putin (tengah) melambai saat Pemimpin Republik Rakyat Donetsk Denis Pushilin (kiri), dan Kepala Wilayah Kherson yang ditunjuk Moskow Vladimir Saldo (kanan) berdiri di dekatnya saat perayaan menandai penggabungan wilayah Ukraina dengan Rusia di Lapangan Merah, Moskow, Rusia, 30 September 2022. (Sergei Karpukhin, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP)

Invasi Rusia ke Ukraina turut disorot sebagai faktor yang memperparah situasi ekonomi global. Faktor-faktor lain adalah masalah suplai, serta melemahnya konsumen dan kepercayaan investor. 

"Pertumbuhan rata-rata bagi ekonomi-ekonomi berkembang diproyeksikan jatuh ke bawah 3% - sebuah perkembangan yang tidak cukup untuk pembangunan berkelanjutan dan akan menambah keuangan publik dan swasta dan merusak prospek ketenagakerjaan," tulis laporan UNCTAD.

Lebih lanjut, ancaman krisis utang global juga semakin nyata, sebab 60 persen negara-negara berpendapatan rendah dan 30 persen ekonomi emerging market berada dalam tekanan utang, atau nyaris masuk tekanan utang. Sejumlah negara yang telah menunjukkan tanda-tanda tertekan utang adalah Sri Lanka, Suriname, dan Zambia. 

UNCTAD menyorot tingkah laku para spekulan dalam hal futures contracts (kontrak berjangka), commodity swaps (swap komoditi), and exchange traded funds.

Pemeintah-pemerintah pun diminta untuk menambah pengeluaran publik dan melakukan pengendalian harga yang strategis yang secara langsung menarget energi, makanan, dan area-area vital lainnya. Investor publik dan swasta juga diminta mengalirkan dana ke penelitian energi terbarukan.

Dukungan juga diperlukan agar Black Sea Grain Intitiative di Ukraina bisa lanjut memberikan pangan kepada dunia di tengah perang Rusia-Ukraina.

3 dari 4 halaman

Para CEO di AS Mulai Bersiap-siap Hadapi Resesi Ekonomi di Negaranya

Pasar Saham AS atau Wall Street.Unsplash/Aditya Vyas

Sebelumnya dilaporkan, sejumlah CEO di Amerika Serikat mulai meyakini bahwa ekonomi negara tidak bisa mencapai soft landing menyusul serangkaian kenaikan suku bunga besar oleh Federal Reserve untuk meredam inflasi.

Menurut survei terhadap 400 pemimpin perusahaan besar di AS oleh perusahaan konsultan KPMG, 91 persen memperkirakan resesi di AS bakal terjadi dalam 12 bulan ke depan.

KPMG juga menemukan bahwa hanya 34% persen dari CEO yang disurvei melihat resesi akan berlangsung secara ringan dan singkat.

"Ada ketidakpastian yang luar biasa selama dua setengah tahun terakhir," kata Paul Knopp, ketua dan CEO KPMG, merujuk pada dampak ekonomi imbas pandemi Covid-19 dan kekhawatiran tentang inflasi, dikutip dari CNN Business, Selasa (4/10/2022).

"Sekarang, kita menghadapi resesi lain yang membayangi," ungkapnya. 

KPMG menyebut, lebih dari separuh CEO yang disurveinya sedang mempertimbangkan pemangkasan tenaga kerja untuk bersiap enghadapi resesi. Tetapi nasih ada sedikit tanda harapan.

Meskipun mayoritas CEO berpikir bahwa resesi akan datang, masih banyak eksekutif bisnis percaya bahwa mereka dalam kondisi yang lebih kuat untuk menghadapi guncangan ekonomi yang begitu keras daripada di tahun 2008 silam.

"Ada optimisme untuk jangka panjang tentang ekonomi AS dan prospek untuk organisasi mereka sendiri," sebut Knopp.

"Perusahaan merasa mereka lebih tangguh dan lebih siap (menghadapi resesi)," pungkasnya. 

Tetapi Knopp menambahkan bahwa para CEO juga memperhatikan prospek jangka pendek ekonomi sehingga mereka berniat untuk merubah rencana pengeluaran jangka panjang.

4 dari 4 halaman

Sri Mulyani Prediksi Banyak Negara Resesi di 2023

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan UMKM merupakan komponen utama ekonomi. Sebab, UMKM mampu menciptakan lapangan kerja dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan ekonomi, baik secara nasional maupun global.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap tingkat pertumbuhan ekonomi banyak negara mulai melemah. Pelemahan ini terjadi sejak kuartal II 2022.

Atas kondisi demikian, sejumlah negara diprediksi mengalami resesi di 2023. Alasannya, tren pelemahan pertumbuhan ekonomi sejak kuartla II, akan terus terjadi hingga akhir tahun 2022. 

"Tren terjadinya peelemahan sudah terlihat mulai Q2 di berbagai negara dan akan semakin dalam pada Q3 dan Q4, sehinga prediksi mengenai pertumbuhan ekonomi tahun ini dan tahun depan termasuk kemungkinan terjadi resesi mulai muncul," ungkapnya dalam konferensi pers APBN KITA, Senin (26/9/2022).

Dalam situasi ekonomi global yang tengah bergejolak sampai Agustus 2022, Indonesia mencatatkan pertumbuhan positif di kuartal II 2022. Ekonomi Indonesia tumbuh 5,4 persen.

"Kita lihat hampir semua negara kondisi pertumbuhan kuartal II-nya melemah dibanding kuartal I secara sangat ekstrem," ujarnya.

Misalnya, China dan Amerika Serikat yang mengalami koreksi. Ditambah Inggris dan beberpaa negara lainnya yang mengalami koreksi pertumbuhan ekonomi. Tren ini diprediksi masih berlanjut di kuartal III dan Kuartal IV tahun 2022.

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya