Cerita CEO Ukraina Tetap Jalankan Perusahaan Startup di Tengah Perang

Simak cerita inspiratif dari seorang CEO asal Ukraina, yang menjalani perusahaan startup di tengah perang.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 11 Agu 2022, 21:00 WIB
Ilustrasi Startup, Perusahaan Teknologi, Cloud, Komputasi Awan. Kredit: Freepik

Liputan6.com, Jakarta - Kisah inspiratif datang dari seorang CEO perusahaan startup asal Ukraina, Aleksandr Volodarsky yang membagikan pengalamannya menanggung tantangan di tengah situasi krisis.

Dilansir dari CNBC International, Kamis (11/8/2022) Volodarsky membagikan pengalaman ketika harus membuat keputusan sulit yang tidak banyak dilakukan oleh sebagian besar CEO di dunia, yakni menjalankan startup di Ukraina yang tengah dilanda perang.

"Masalah terbesar adalah tidak memiliki karyawan di tempat bekerja. Salah satu (karyawan) yang berjuang di garis depan saat perang adalah kepala pemasaran kami,” kata pendiri Lemon.io, marketplace online freelance untuk pengembang perangkat lunak.

Ketika perang Rusia -Ukraina pecah pada bulan Februari 2022, Volodarsky mengatakan kepada 60 stafnya bahwa pekerjaan mereka akan dipertahankan dan mereka akan terus digaji – bahkan jika harus dimobilisasi atau berjuang secara sukarela.

"Sudah ada banyak orang yang kehilangan pekerjaan … ini sangat membantu karena jika Anda harus melalui pengalaman ini dan juga mengkhawatirkan penghasilan Anda, itu seperti kecemasan ganda," beber dia. 

"Jika Anda kehilangan pekerjaan, akan jauh lebih sulit untuk melewati (krisis) ini," tuturnya.

"Kita memutuskan untuk menggaji karyawan hingga dua bulan sehingga mereka punya uang tunai. Apa pun yang terjadi, masyarakat selalu membutuhkan uang tunai … sistem perbankan bisa turun, apa pun bisa terjadi," cerita dia.

Tak lama setelah keputusan itu, bank sentral Ukraina menangguhkan transfer tunai elektronik pada hari yang sama ketika konflik dengan Rusia mulai pecah di negara itu.

Saat perang terjadi, ATM di seluruh wilayah Ukraina mulai kehabisan uang tunai, dan beberapa warga dilaporkan rela mengantre berjam-jam hanya untuk menarik uang USD 33.

"Ini sangat menantang. Lima bulan terakhir agak berantakan … tetapi masyarakat masih yakin bahwa jika lanjut bekerja, mereka memiliki (rasa) keamanan," ungkapnya.

2 dari 3 halaman

Sejumlah Negara Manfaatkan Perang Rusia dan Ukraina untuk Keuntungan Ekonomi

Asap mengepul dari pabrik baja Azovstal di Mariupol, di wilayah di bawah pemerintahan Republik Rakyat Donetsk, Ukraina timur, saat perang antara Rusia Ukraina. (AP Photo/Alexei Alexandrov, File)

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan fakta menarik.

 Ternyata ada sebagian negara yang denga sengaja memanfaatkan situasi perang Rusia dan Ukraina  dan konflik China dengan Taiwan untuk kepentingan ekonomi.

"Terkait konflik Ukraina sama Rusia, ada beberapa negara yang memanfaatkan ekonomi dari kondisi itu. Ada," ujar Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers Ekonomi Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat di Kantor BKPM Jakarta, Senin (8/8/2022).

Tak berbeda jauh dengan konflik geopolitik terbaru yaitu antara China dan Taiwan. ada beberapa negara juga menggunakan kesempatan konflik tersebut untuk keuntungan ekonomi. Konflik antara China dan Taiwan dimulai saat Ketua DPR Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi ke Taiwan.

Bahlil menerangkan, perang sendiri tidak sepenuhnya menghentikan aktivitas ekonomi. Mengingat, perang justru akan menimbulkan potensi ekonomi baru yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah negara.

"Ingat ada satu cerita di dunia sekarang, perang itu bukan berarti ekonomi tidak jalan. Bahkan, ada sebagian yang mencari manfaat (ekonomi) positif," tandasnya.

3 dari 3 halaman

Siap-siap, Harga Mi Instan Naik Imbas Perang Rusia-Ukraina

Nunuk Nuraini, peramu rasa Indomie meninggal dunia pada Rabu (27/1/21) kemarin. | Ilustrasi foto: unsplash.com/Markus Winker

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengungkapkan kemungkinan harga mi instan naik imbas dampak perang Rusia-Ukraina. 

Diketahui bahwa perang-Rusia-Ukraina yang masih berlangsung menghambat pengiriman ratusan juta ton gandum dari kedua negara, sebagai penghasil gandum terbesar dunia.

Menteri Syahrul memprediksi bahwa harga mi instan bisa naik tiga kali lipat karena mahalnya harga gandum sebagai bahan baku, yang masih dipasok melalui impor.

"Belum selesai dengan climate change, kita dihadapi dengan Perang Ukraina-Rusia, dimana ada 180 juta ton gandum nggak bisa keluar, jadi hati-hati yang makan mi banyak dari gandum, besok harganya (naik) 3x lipat," ujar Menteri Syahrul, dalam webinar Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, dikutip Rabu (10/8/2022).

"Ada gandum tapi harganya mahal banget. Sementara kita impor terus," pungkasnya. 

Namun, meski dengan kondisi iklim yang tak menentu di sejumlah negara, yang diperparah dengan krisis energi dan pangan hingga geopolitik, Menteri Syahrul meyakini Indonesia bisa melewati krisis ekonomi.

Hal itu didukung dengan keberhasilan Indonesia melewati pandemi dengan baik, dan mempertahankan tingkat inflasi di bawah 4 persen.

"Selama 2 tahun ini, Indonesia termasuk salah satu negara yang sukses menghadapi Covid-19 dilihat dari ekonomi yang konstan, serta kemampuan perputaran uang dan kehidupan rakyatnya yang cukup baik," tutur Menteri Syahrul.

Berdasarkan pantauan pada Rabu (10/8) di platform e-commerce Tokopedia, harga mi instan dijual di kisaran Rp 2 ribu per bungkus.

Ada juga yang menjual produk mi instan Indomie varian Mi Goreng original seharga Rp 3 ribu hingga Rp 4 ribu.

Sementara di  platform e-commerce Shopee, harga produk Indomie dijual di kisaran Rp 3.500 hingga Rp 4 ribu per bungkus.

Adapun situs klik Indomaret, di mana harga Indomie varian Ayam Bawang dan Mi Goreng dibandrol seharga Rp 3.000 per bungkusnya.

INFOGRAFIS JOURNAL_Konflik Ukraina dan Rusia Ancam Krisis Pangan di Indonesia? (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya