Ombudsman RI Sebut Syarat Tes PCR Munculkan Sikap Diskriminatif Ganda

Ombudsman RI menegaskan, mestinya tes PCR ini ditanggung negara alias gratis.

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Okt 2021, 12:44 WIB
Petugas kesehatan melakukan tes usap (swab test) antigen dan PCR gratis di Terowongan Kendal, Menteng, Jakarta, Kamis (2/9/2021). Program yang dinamakan Seruling (swab seru keliling) dari Puskesmas Kecamatan Menteng tersebut dilaksanakan setiap Selasa, Kamis, dan Jumat. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia (Ombudsman RI) menyoroti kebijakan pemerintah terkait tarif tes Covid-19 menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR). Menurut Ombudsman RI, seharusnya tes PCR tidak dikenakan biaya.

Sebab, jika merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional, maka PCR menjadi barang publik. Seperti halnya vaksin Covid-19.

"Karena dia bencana nasional nonalam, maka kemudian sangat jelas ini adalah barang publik. Itu sangat jelas. Ini kalau dalam vaksinasi yang hendak dibangun adalah kekebalan komunitas, imunitas individual, maka testing PCR ini bagian dari cara mencegah transmisi atau penularan," kata Unsur Pimpinan Ombudsman RI, Robert Endi Jaweng dalam diskusi Ribut-Ribut PCR, Sabtu (30/10/2021).

Endi Jaweng mengatakan pemerintah telah menetapkan vaksinasi Covid-19 sebagai program pemerintah. Program ini bersifat gratis bagi seluruh lapisan masyarakat. Seharusnya, PCR juga masuk dalam program pemerintah.

"Kalau ada vaksin program, mestinya PCR program, PCR gratis, ditanggung negara. Mestinya seperti itu," ujarnya.

Dia menyadari, keuangan negara mungkin tidak mampu menanggung seluruh biaya tes PCR. Namun, pemerintah perlu mencari jalan keluar. Misalnya, berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai batas tarif tertinggi tes PCR yang ideal dan tidak membebani masyarakat.

"Setiap masalah atau setiap kebijakan yang membebani masyarakat lebih dari kemampuan mereka dalam membayar mestinya harus konsultasi ke DPR karena ini sudah membebani," ucapnya.

Endi Jaweng menambahkan, kebijakan wajib tes PCR bagi pelaku perjalanan menggunakan transportasi udara terkesan diskriminatif ganda, yakni secara finansial dan keselamatan. Diskriminatif finansial dialami pengguna moda transportasi udara karena dianggap mampu dari segi keuangan.

Sementara diskriminatif keselamatan dialami masyarakat yang menggunakan moda transportasi darat atau laut. Saat ini, syarat perjalanan bagi pengguna transportasi darat dan laut hanya tes antigen dan sertifikat vaksinasi, tanpa tes PCR.

"Seolah-olah karena Anda menggunakan moda transportasi yang lebih murah maka pertaruhannya boleh Anda saling menular. Maka kepada mereka hanya diberlakukan tes antigen karena asumsi yang dibangun secara klinik enggk tahu," tuturnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Penurunan Harga Tes PCR

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan memutuskan menurunkan batas tarif tertinggi tes PCR menjadi Rp 275.000 untuk wilayah di Pulau Jawa dan Bali dan Rp300.000 di luar Jawa Bali.

Penurunan batas tarif tertinggi ini diklaim sudah mempertimbangkan banyak hal, di antaranya jasa pelayanan atau SDM, reagen dan bahan habis pakai (BHP), biaya administrasi, overhead dan biaya lainnya yang disesuaikan dengan kondisi saat ini.

"Bahwa sekarang ini sudah terjadi penurunan harga, apakah itu harga alat termasuk juga harga barang habis pakai, termasuk seperti hazmat dan lain sebagainya. Sehingga menyebabkan harga itu kita turunkan yang semula Rp495.000 menjadi Rp275.000," kata Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Abdul Kadir dalam konferensi pers yang disiarkan melalui YouTube Kementerian Kesehatan RI, Rabu (27/10).

Infografis Ragam Tanggapan Tes PCR Jadi Syarat Penumpang Pesawat. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya