Transaksi Online di Indonesia Masih Rendah, Ini Sebabnya

Masyarakat yang bertransaksi di e-commerce masih rendah

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Mei 2021, 19:00 WIB
Ilustrasi e-Commerce (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti INDEF, Bhima Yudhistira mengatakan masyarakat yang bertransaksi di e-commerce masih rendah. Hanya berkisar 5 persen hingga 6 persen dari total transaksi dari retail nasional.

Kondisi ini disebabkan karena tidak meratanya akses internet yang stabil baik di Jawa maupun Luar Jawa. Sehingga menyebabkan ketimpangan akses masyarakat untuk berbelanja online.

"Ada gap ketimpangan akses dimana penduduk jawa menikmati e-commerce, sementara di luar jawa masih sedikit yang bisa menikmati jual beli online," tutur Bhima saat dihubungi Merdeka.com, Jakarta, Rabu (5/5).

Berdasarkan data yang dimilikinya, selama pandemi Covid-19 berlangsung, kecepatan internet menurun. Kecepatan internet turun -4,4 persen disaat masyarakat tengah beralih melakukan transaksi di platform digital.

"Di saat pandemi Covid-19 dimana masyarakat beralih sebagian ke e-commerce, kecepatan internet di Indonesia menurun -4,4 persen karena kapasitas terbatas," kata dia.

Apalagi biaya logistik juga tidak murah bagi sebagian besar masyarakat di luar Pulau Jawa. Bahkan banyak keluhan dari masyarakat yang menyebut harga ongkos kirim lebih besar daripada harga produk.

"Tidak sedikit yang komplain ongkir lebih mahal dari harga barang yang dibeli," kata dia.

Secara rata-rata biaya logistik terhadap PDB di Indonesia masih 23,5 persen. Angka ini menjadi yang tertinggi di asia tenggara.

Saat pemerintah memberikan subsidi gratis ongkos kirim pun menjadi masalah lain. Sebab hasil studi INDEF menunjukkan produk yang diperdagangkan secara online hanya 25,9 persen yang diproduksi lokal.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Subsidi Ongkir

E-commerce adalah (Image by athree23 from Pixabay)

Bila pemerintah salah memberikan subsidi, bukan hal yang tidak mungkin produk impor Lebih laris. Dari sisi neraca dagang justru ini membahayakan.

"Belum ada subsidi ongkir saja, impor barang konsumsi yang didalamnya termasuk barang dijual di ecommerce naik 15,5 persen per Maret 2021, lebih tinggi dari bulan sebelumnya," kata dia.

Untuk mencegah hal tersebut terjadi, Bhima menyarankan agar pemerintah membatasi produk impor hingga 30 persen di e-commerce. Selain itu pemerintah juga bisa mencegah banjir produk impor dengan regulasi yang ketat.

"Agar tidak banyak barang impor perlu ada regulasi pembatasan impor maksimal 30 persen di marketplace atau ada safeguard untuk cegah banjir impor. Tanpa regulasi yang ketat, sulit mengatur impor," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya