Catatan Indef Terkait Penyelesaian Utang ADHI hingga WSKT

Ekonom Indef Deniey A. Purwanto menjabarkan, Debt to Equity Ratio (DER) sejumlah BUMN mulai mendekati batas wajar.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 24 Mar 2021, 17:58 WIB
Pekerja mengamati pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di salah satu perusahaan Sekuritas, Jakarta, Rabu (14/11). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil bertahan di zona hijau pada penutupan perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian BUMN mencatat utang BUMN periode Januari hingga September 2020 mencapai Rp 1.682 triliun. Angka ini meningkat dibandingkan utang pada 2018 sebesar Rp 1.251,7 triliun, dan 2019 sebesar Rp 1.393 triliun.

Ekonom INDEF, Didik Junaidi Rachbini memaparkan, BUMN yang memiliki utang dan akan direstrukturisasi antara lain ada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, PT Waskita Karya (Persero) Tbk, serta Perum Perumnas.

Sementara BUMN yang dalam kondisi waspada antara lain, PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), PT KAI (Persero), PT Pelabuhan Indonesia (Persero), dan PT Angkasa Pura (Persero).

"Utangnya ribuan triliun, tapi setoran labanya (sedikit), paling banyak BRI Rp 11 triliun,” kata Didik dalam diskusi virtual, Rabu (24/3/2021).

Sehubungan dengan membengkaknya utang BUMN, pemerintah berencana melakukan penyelamatan BUMN melalui sejumlah kebijakan. Antara lain pengurangan belanja modal, restrukturisasi utang BUMN, juga ada penambahan penyertaan modal negara (PNM).

Selain itu, pemerintah juga merestrukturisasi BUMN ekuitas negatif, merger perusahaan, pembentukan holding, hingga likuidasi.

Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Indef Deniey A. Purwanto menjabarkan, Debt to Equity Ratio (DER) sejumlah BUMN mulai mendekati batas wajar. Untuk diketahui, batas wajar DER sendiri adalah 3 hingga 4 kali. 

Dalam paparannya, untuk BUMN karya ada PT Adhi Karya Tbk (ADHI) yang mencatatkan DER sebanyak 5,76 kali, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) 3,42 kali, PT PP Properti Tbk (PPRO) 2,90 kali, PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP) 2,81 kali, dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) 2,70 kali.

Deniey mengatakan, kebijakan tersebut memiliki sejumlah implikasi. Pertama, yakni debt burden. Dengan tumpukan utang BUMN keuangan maupun non keuangan menciptakan beban bagi perekonomian saat ini dan yang akan datang hingga terjadinya debt trap.

"Jadi kalau kita lihat laju pertumbuhan utang BUMN baik yang secara total keseluruhan maupun utang luar negeri-nya saja, kalau tidak ada upaya untuk menahan laju pertumbuhan uang itu maka bebannya terhadap perekonomian akan semakin besar. Dan risikonya mengarah pada debt trap juga semakin besar,” kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Risiko Fiskal

Pemandangan deretan gedung dan permukiman di Jakarta, Rabu (1/10/2020). Meski pertumbuhan ekonomi masih di level negatif, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut setidaknya ada perbaikan di kuartal III 2020. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kedua, yakni fiscal risk. Restrukturisasi utang BUMN tidak saja menjadi beban yang semakin besar bagi APBN, tetapi juga mengandung risiko fiskal yang relatif lebih tinggi dampaknya dibandingkan risiko yang lain, “atau bahkan risiko fiskal yang dampaknya setara dengan kerugian akibat bencana,” ujar dia.

Selanjutnya, opportunity cost. Yakni alokasi anggaran untuk restrukturisasi BUMN, utamanya dalam alokasi pembiayaan pemulihan ekonomi menciptakan opportunity cost untuk penciptaan fiscal space untuk alokasi instrumen pemulihan ekonomi yang lain.

“Keempat, trade off between opportunity and risk. Yaitu restrukturisasi utang BUMN di satu sisi dapat dipandang sebagai sebuah kesempatan untuk mendorong pemulihan ekonomi, namun di sisi lain juga mengandung risiko-risiko yang sebaliknya akan menjadi beban tersendiri bagi perekonomian,” kata Deniey.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya