Trauma Sosial Perempuan dan Anak di Mamuju Akibat Gempa

Perempuan dan anak penyintas gempa di Mamuju disebut mengalami trauma sosial yang membuat mereka meninggalkan rumah.

oleh Heri Susanto diperbarui 23 Jan 2021, 00:00 WIB
Kondisi di dalam salah satu tenda darurat penyintas gempa Mamuju di jalan Juanda, Rabu (20/01/2021). Tenda terpal berukuran 3X4 Meter itu dihuni 6 orang termasuk anak dan bayi. (Foto: Heri Susanto/ Liputan6.com).

Liputan6.com, Mamuju - Perempuan dan anak penyintas gempa di Mamuju disebut mengalami trauma sosial yang membuat mereka meninggalkan rumah.

Hal itu menurut Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus, Elvi Hendrani, berdasarkan penilaian dari tim kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (P3A). Elvi mengungkapkan sebagian besar perempuan dan anak yang masih mengungsi masih memiliki tempat tinggal, tetapi memilih bertahan di tenda darurat karena takut terjadi gempa susulan. Ketakutan para penyintas itu diperparah dengan hoaks yang menyebar usai gempa.

Menyikapi itu, Kementerian P3A kata Elvi berupaya menyediakan dukungan-dukungan psikososial di titik-titik pengungsian yang ada di Mamuju bersama tim dari organisisasi dan instansi lainnya seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, HIMPSI, TNI AL, serta MDMC Muhamadiyyah.

"Ini adalah dukungan psikososial. Tidak menutup kemungkinan jika ada yang membutuhkan trauma healing, akan ditangani,” Kata Elvi di Mamuju, Kamis (21/1/2021).

Sejauh ini, telah ada dua posko ramah perempuan dan anak serta tenda ramah anak untuk mendukung penanganan psikososial para penyintas di Mamuju.

Pendataan sementara yang dilakukan Kementerian P3A mencatat akibat gempa magnitude 6,2 yang terjadi pada 15 Januari, tercatat pengungsi perempuan dewasa sebanyak 18.484, bayi berusia 0 sampai 2 tahun sebanyak 1.413, usia 2 sampai 6 tahun 301, dan usia 6 sampai 17 tahun ada 1.092. Dari jumlah itu terdapat ibu hamil sebanya 42 jiwa dan ibu menyusui 98 jiwa.

Simak video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya