Dokumentasi Sidang Harus Izin Hakim, MA Dinilai Mereduksi Keterbukaan Informasi

Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) yang berisi gabungan masyarakat sipil dan organisasi, mengkritik Mahkamah Agung (MA).

oleh Fachrur Rozie diperbarui 21 Des 2020, 17:18 WIB
Petugas Palang Merah Indonesia saat melakukan penyemprotan cairan disinfektan di salah satu ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (18/3/2020). Penyemprotan cairan disinfektan untuk mencegah penyebaran virus corona COVID-19. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) yang berisi gabungan masyarakat sipil dan LSM di bidang hukum, mengkritik Mahkamah Agung (MA) yang telah mengeluarkan Peraturan MA atau Perma Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam lingkungan Pengadilan.

Dalam Pasal 4 ayat 6 di Perma menyebut 'Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin hakim/ketua majelis hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan.

Ketua YLBHI Asfinawati yang tergabung dalam KPP tersebut mengatakan, Perma tersebut berdampak serius bagi akses keadilan masyarakat.

"Secara lebih luas, larangan ini akan berdampak serius terhadap akses keadilan masyarakat dan mereduksi keterbukaan informasi yang juga diwajibkan oleh hukum yang berlaku di Indonesia," ujar Ketua YLBHI Asfinawati dalam keterangannya, Senin (21/12/2020).

Asfinawati menyebut, peraturan serupa pernah diterbitkan MA melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan yang ditandatangani pada 7 Februari 2020.

Dalam surat edaran tersebut diatur ketentuan yang menyatakan bahwa 'pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan'. Surat edaran tersebut diketahui telah dicabut oleh MA.

"Perbedaannya kali ini, MA memberikan kewenangan kepada hakim atau ketua majelis hakim dan bukan Ketua Pengadilan Negeri," kata dia.

Koalisi berpandangan, lanjut dia, prinsip peradilan adalah terbuka untuk umum, sesuai Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman. Kecuali perkara mengenai kesusilaan atau anak.

Karenanya, MA juga harus menjamin bahwa setiap pengadilan wajib mengeluarkan materi terkait dengan persidangan yang sedang berlangsung, baik dalam bentuk foto, gambar, audio, dan rekaman visual lainnya yang bisa diakses oleh masyarakat secara bebas dan aktual.

"Sekedar melarang tanpa mewajibkan setiap pengadilan mengeluarkan materi terkait dengan persidangan, maka dalam pandangan kami, hal ini adalah bentuk penutupan akses informasi publik pada sidang yang terbuka untuk umum," kata dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Penjelasan MA

Juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro membantah, pihaknya membatasi transparansi. Terlebih bagi para jurnalis.

Menurut dia, Mahkamah Agung menerbitkan aturan tersebut untuk menciptakan suasana sidang yang lebih tertib dan lancar.

"Bukan untuk membatasi transparansi tetapi lebih merupakan sebuah perangkat/pengaturan untuk mewujudkan peradilan yang berwibawa," kata Andi saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (18/12/2020).

Andi menjelaskan, Perma tersebut membuat saksi, terdakwa, dan pengunjung lebih merasa aman.

"Tak jarang kita menyaksikan terjadinya insiden atau penyerangan fisik yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak puas atas putusan hakim," kata dia.

Andi menegaskan, pers masih sangat terbuka peluang untuk meliput jalannya persidangan terbuka di pengadilan. Dengan catatan izin terkait sudah diberikan hakim sebelum palu diketuk untuk dimulai.

"Aparat peradilan yang bersidang serta pihak-pihak lain yang berkepntingan termasuk para jurnalis tentunya (dengan Perma 5 Tahun 2020) merasa aman berada di lingkungan pengadilan," jelas dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya