Peneliti AS Sebut Vape Meningkatkan Risiko COVID-19

Sebuah studi baru diterbitkan Selasa di Journal of Adolescent Health menetapkan hubungan yang telah lama dicurigai antara penggunaan vape atau rokok elektrik dengan risiko COVID-19.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 14 Agu 2020, 19:00 WIB
Seorang pria menggunakan vape atau rokok elektronik di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Selasa (12/11/2019). Pemerintah melalui BPOM mengusulkan pelarangan penggunaan rokok elektrik dan vape di Indonesia, salah satu usulannya melalui revisi PP Nomor 109 Tahun 2012. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Sejak awal pandemi, ada pertanyaan seputar hubungan antara vape dan COVID-19. Hal tersebut terbilang masuk akal karena sebagian besar gejala COVID-19 adalah penyakit pernapasan, namun studi ilmiah tentang penggunaan rokok elektrik dan virus corona masih kurang hingga sekarang.

Hingga sebuah studi baru diterbitkan Selasa di Journal of Adolescent Health menetapkan hubungan yang telah lama dicurigai antara penggunaan vape atau rokok elektrik dengan risiko COVID-19. Peneliti Universitas Stanford merekrut 4.351 peserta, berusia antara 13 dan 24 tahun, dari 50 negara bagian, District of Columbia, dan tiga wilayah.

Para peserta menjawab serangkaian pertanyaan dalam format survei, termasuk apakah mereka pernah menggunakan alat vaping atau rokok yang mudah terbakar, apakah mereka telah vaping atau merokok dalam 30 hari terakhir, dan apakah mereka mengalami gejala COVID-19, menerima tes untuk COVID-19, atau menerima diagnosis positif COVID-19 setelah diuji.

Bardasarkan data yang dikumpulkan dari hasil survei menunjukkan bahwa infeksi COVID-19 berkaitan dengan penggunaan vape, termasuk pada pengguna rokok elektrik maupun rokok tradisional.

 

Simak Video Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Hasil studi

Benarkah Vape atau Rokok Elektrik Sebabkan Paru-paru Basah? (MDGRPHCS/Shutterstock)

Secara khusus, para peneliti menemukan bahwa remaja dan dewasa muda yang melakukan vape, lima kali lebih mungkin didiagnosis dengan COVID-19 daripada non-vapers. Jika seseorang merokok baik rokok tradisional maupun rokok elektrik, mereka tujuh kali lebih mungkin mendapatkan hasil tes yang positif.

Studi ini juga menunjukkan bahwa pengujian COVID-19 pada mereka yang melakukan vape, (terlebih pada pengguna ganda dalam 30 hari terakhir) sembilan kali lebih mungkin untuk dites COVID-19 daripada non-pengguna. Sementara mereka yang hanya menggunakan rokok elektrik hampir tiga kali lebih mungkin.

Sayangnya, studi ini tidak membahas alasan hasil tersebut, namun para peneliti memiliki beberapa hipotesis tentang temuan mereka.

“Pertama, kami tahu bahwa vaping merusak paru-paru dan sistem kekebalan, jadi mungkin remaja yang menggunakan rokok elektrik yang terpapar virus lebih dirugikan olehnya,” ujar penulis utama Bonnie Halpern-Felsher, PhD, seorang profesor pediatri dan direktur penelitian di divisi kedokteran remaja di Universitas Stanford, kepada Health.

Menurut Bonnie, terdapat kemungkinan bahwa remaja yang vaping dan merokok meningkatkan paparan virus karena remaja sering berbagi perangkat rokok elektrik mereka. Karena virus corona ini bisa berpindah dari tangan ke mulut. Selain itu, aerosol dapat membawa virus dan kemudian terhirup hingga jauh ke dalam paru-paru.

Studi baru ini penting karena studi sebelumnya tentang penggunaan tembakau dan COVID-19 sebagian besar dilakukan pada orang dewasa dan perokok tradisional. “Mereka sering menggunakan sampel berbasis klinik, sebagian besar sudah diuji atau didiagnosis, yang berarti sampel tersebut bias,” kata Halpern-Felsher. "Studi kami adalah studi berbasis populasi pertama yang menggunakan sampel besar remaja dan dewasa muda di seluruh negeri, dan pertama yang menyertakan rokok elektrik."

Meskipun penelitian ini mencoba memperhitungkan faktor risiko yang diketahui untuk COVID-19, seperti obesitas, penelitian tersebut tidak dapat mengoreksi faktor risiko lain yang diketahui, seperti hipertensi, yang lebih sering ditemukan pada orang yang lebih tua.

“Dengan demikian, peningkatan risiko didiagnosis dengan COVID-19 pada mereka yang telah menggunakan rokok elektrik atau pengguna rokok elektrik ganda dan rokok tradisional harus dapat diaplikasikan juga ke populasi yang lebih tua juga,” ujar Robert Goldberg, MD, ahli paru dengan Mission Hospital di California Selatan, kepada Health.

Sejak tahap awal pandemi, berbagai lembaga kesehatan juga telah memperingatkan tentang hubungan antara merokok dan vaping, serta risiko COVID-19, dengan kemungkinan komplikasi serius jika tertular COVID-19.

Menurut Michael Felberbaum, juru bicara Food and Drug Administration (FDA) juga pernah mengutarakan kalau orang yang memang sudah memiliki masalah kesehatan mendasar seperti masalah jantung atau paru-paru kemungkinan besar meningkatkan risiko komplikasi serius jika terpapar COVID-19.

"Ini termasuk orang yang merokok dan / atau vape tembakau atau produk yang mengandung nikotin," ujarnya kepada Bloomberg.

Bahkan sejak April lalu, Nora Volkow, MD, direktur Institut Nasional Penyalahgunaan Narkoba (National Institute on Drug Abuse) menerbitkan entri blog yang memperingatkan bahwa virus corona bisa menjadi ancaman yang sangat serius bagi mereka yang perokok tembakau atau perokok ganja (marijuana) bahkan pada mereka yang melakukan vape.

Pada Januari 2018, tinjauan terhadap lebih dari 800 studi berbeda dirilis oleh National Academies of Science, Engineering and Medicine menyimpulkan bahwa rokok elektrik mengandung dan mengeluarkan sejumlah zat yang berpotensi beracun, dan menemukan “bukti moderat” bahwa remaja yang menggunakan rokok elektrik memiliki risiko yang lebih tinggi untuk batuk dan mengi, ditambah perburukan gejala asma.

Studi Halpern-Felsher telah mendorong anggota parlemen untuk mendesak FDA untuk sementara waktu menarik rokok elektrik dari pasar sampai krisis COVID-19 selesai.

Dalam sebuah surat yang dikirim ke komisaris FDA Stephen Hahn, MD, pada 11 Agustus, yang diperoleh CNN, mereka menyoroti kekhawatiran mereka bahwa vape dapat mengancam kesehatan dan keselamatan orang Amerika dari segala usia mengingat bahwa kaum muda semakin mendorong penyebaran COVID- 19.

Dalam surat itu, sub-komite House Committee on Oversight and Reform on Economic and Consumer Policy meminta Hahn untuk mengkonfirmasi pada 18 Agustus apakah FDA akan sementara waktu memberhentikan pasar semua rokok elektrik.

Secara keseluruhan, Halpern-Felsher tidak terkejut dengan temuan studinya secara umum, tetapi dia tidak berharap melihat peningkatan dramatis dalam risiko didiagnosis dengan COVID-19. Baginya, tidak perlu diragukan lagi: "Ini adalah seruan untuk semua orang untuk menghentikan vaping."

“Sebelum pandemi virus corona, sudah ada banyak bukti peningkatan risiko kerusakan paru-paru pada mereka yang melakukan vape dibandingkan dengan mereka yang menggunakan rokok tradisional. Saran saya adalah berhenti menggunakan vaping atau jangan pernah memulai vaping untuk meminimalkan risiko ini,” tambah Dr. Goldberg.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya