Trauma Pukat Harimau, Nelayan Indramayu Kangen Menteri Susi

Pengalaman nelayan Indramayu memilih menghindar dari kapal nelayan yang lebih besar karena pertimbangan ancaman kerusakan pada alat tangkap mereka

oleh Panji Prayitno diperbarui 20 Jul 2020, 09:00 WIB
Aksi nelayan Kabupaten Indramayu menolak kembali penggunaan alat tangkap pukat harimau di perairan Indonesia. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Liputan6.com, Indramayu - Sejumlah nelayan di Pantura Indramayu Jawa Barat mengeluhkan praktik penangkapan ikan yang kembali menggunakan alat tangkap trawl atau pukat harimau.

Salah seorang Nelayan Indramayu yang juga sebagai nahkoda kapal, Rastadi, menjelaskan, kapal-kapal yang menggunakan alat tangkap pukat harimau diketahui beroperasi di perairan Aru, pada lintang 8-7 dan bujur 137.

"Saya lihat di situ ada tiga kapal yang sedang menangkap ikan menggunakan pukat harimau. Bentuknya kapal besi seperti kapal luar negeri," kata pria yang menjadi Nahkoda KM Gajah Samudra, Minggu (17/7/2020).

Rastadi mengaku memiliki bukti terkait nelayan yang menggunakan pukat harimau. Dia mengaku sempat mengabadikan peristiwa tersebut dengan menggunakan video dan foto.

Saat melihat ada kapal yang menggunakan pukat harimau, dia memutuskan untuk mengalihkan kemudi kapalnya ke wilayah lain. Sebab, risiko yang dihadapinya terlalu besar jika tetap menangkap ikan di wilayah perairan yang sama dengan kapal yang menggunakan pukat harimau.

"Jaring yang saya gunakan akan rusak terkena trawl hingga akhirnya putus dan hilang di tengah perairan. Padahal harga jaring itu miliaran rupiah," aku Rastadi.

Padahal, ungkap Rastadi, wilayah perairan yang semula ditempatinya itu kaya akan ikan. Namun, dia terpaksa pindah ke wilayah lain meskipun wilayah tersebut lebih sedikit hasil tangkapannya.

Mereka mengaku khawatir kembalinya pukat harimau mengancam nelayan lain yang menggunakan alat tangkap tradisional hingga merusak ekosistem laut. Praktik penggunaan pukat harimau tersebut memicu penolakan Nelayan Kabupaten Indramayu.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Penolakan Penggunaan Pukat Harimau

Aksi nelayan Kabupaten Indramayu menolak kembali penggunaan alat tangkap pukat harimau di perairan Indonesia. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

"Kami kangen dengan Menteri Susi. Saat Bu Susi (menjabat sebagai menteri), tidak seperti ini," teriak salah seorang nelayan Junaedi, Sabtu (18/7/2020).

Dalam orasinya, sejumlah perwakilan nelayan menyatakan penggunaan pukat harimau dilarang secara tegas di era Menteri Susi Pujiastuti. Namun saat ini, penggunaan pukat harimau kembali marak.

Junaedi mengatakan, penggunaan pukat harimau kembali marak dalam sebulan terakhir di perairan wilayah timur Indonesia. Penggunaan pukat harimau membuat terumbu karang menjadi rusak.

"Terutama membuat jaring-jaring milik kami menjadi rusak," keluh Junaedi.

Junaedi mengatakan, harga jaring jenis Gillnet yang biasa digunakan nelayan Karangsong Indramayu mencapai Rp2 miliar – Rp3 miliar. Jika jaring tersebut terkena pukat harimau dari kapal lain, maka dipastikan akan rusak dan hilang di tengah perairan.

Selain itu, bibit-bibit ikan yang masih kecil juga ikut terbawa pukat harimau sehingga mengancam kelangsungan hidup ikan di perairan. Jika tak segera dihentikan, maka tangkapan nelayan dipastikan akan terus mengalami penurunan.

Junaedi menyebutkan, para nelayan Karangsong Indramayu biasa berlayar ke perairan wilayah timur Indonesia dengan hasil tangkapan di kisaran 100-200 ton ikan per kapal. Untuk memperoleh hasil tangkapan itu, mereka berlayar selama empat hingga tujuh bulan.

"Akibat maraknya penggunaan pukat harimau, hasil tangkapan kami jadi turun hingga 50 persen," kata Junaedi.

Junaedi berharap agar Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, segera menghentikan penggunaan alat tangkap pukat harimau di berbagai wilayah perairan Indonesia, demi keselamatan ekosistem laut Indonesia dan kesejahteraan nelayan.

"Kami menolak dengan tegas beroperasinya kapal-kapal yang menggunakan alat tangkap pukat harimau," tegas Junaedi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya