Risalah Langit Merah dan Jalan Terjal Restorasi Gambut Jambi (Bagian II)

Implementasi program restorasi gambut di area konsesi masih menemui jalan terjal. Badan Restorasi Gambut atau BRG mengakui tidak semua perusahaan melaksanakan restorasi secara lengkap.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 21 Jun 2020, 15:40 WIB
Kondis kebakaran di lahan gambut perkebunan kelapa sawit di Kumpeh. (Liputan6.com / Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi - Fenomena langit merah akibat bencana kabut asap itu masih terngiang diingatan Fitriyani, warga Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Waktu itu matahari tak kelihatan karena terhalang kabut asap pekat akibat kebakaran di lahan gambut.

Fenomena tak lazim berupa langit merah itu terjadi pada 21 Sepetember 2019. Pada saat muncul fenomena langit merah akibat bencana kabut asap itu, banyak dari warga di sana tak bisa membedakan antara siang dan malam.

"Waktu itu parah banget, bikin takut, siang hari jadi gelap," ujar Fitri, akhir April 2020 ketika mengenang fenomena langit merah di desanya itu.

Wilayah Kecamatan Kumpeh, menjadi daerah yang cukup parah terpapar bencana asap. Sebab, di daerah itu tak sedikit area perusahaan perkebunan di area gambut yang mengalami kebakaran.

Kabut asap tahun 2019 silam hampir sama parahnya dengan bencana asap tahun 2015. Kebakaran gambut di Provinsi Jambi yang terjadi pada tahun lalu, disayangkan karena saat yang sama pemerintah tengah menjalankan program untuk memulihkan gambut yang terdegradasi.

Restorasi gambut di Indonesia telah berjalan empat tahun. Tepatnya dimulai pada 6 Januari 2016, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menandatangani Perpres No 1/2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG).

Dalam Perpres tersebut, BRG mendapat tugas merestorasi gambut di tujuh provinsi di Indonesia yang meliputi, Jambi, Riau, Sumsel, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua, seluas 2,67 juta hektare.

Pembentukan badan yang mengurusi pemulihan ekosistem gambut tersebut berlatar belakang dari bencana kabut asap parah yang terjadi tahun 2015. Seiring berjalannya waktu, program restorasi belum mampu sepenuhnya memulihkan gambut.

Berdasarkan data dari BRG, seperti dikutip melalui platform Pantaugambut.id, realisasi program restorasi lahan gambut hingga Desember 2019 mencapai 778.181 hektare. Namun, untuk restorasi di kawasan konsesi perusahaan, baik perkebunan dan hutan tanaman indsutri (HTI) masih jauh dari target yang ditentukan.

Secara spesifik, BRG menyampaikan telah melakukan kegiatan supervisi di area konsesi. Hingga akhir 2019, BRG berhasil melaksanakan supervisi restorasi gambut di area perkebunan seluas 523.112,92 hektare.

Di Provinsi Jambi realisasi program restorasi gambut baru mencapai 86.125 hektare dari target yang ditetapkan 200.772 hektare. Dari luasan target tersebut, di antaranya terbagi meliputi kawasan lindung 46.415 hektare, kawasan budidaya tidak berizin (non-konsesi) 25.885 hektare dan kawasan budidaya berizin (konsesi) seluas 128.472 hektare.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 4 halaman

Bagaimana Restorasi Gambut di Perusahaan?

Deputi III BRG Myrna A. Safitri (tengah) saat menjelaskan progres restorasi gambut di Jambi tahun 2019. (Liputan6.com / Gresi Plasmanto)

Restorasi gambut di kawasan budidaya berizin merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang izin (perusahaan). Menurut Deputi III BRG Bidang Edukasi, Sosialisasi, Paritipasi, dan Kemitraan, Myrna A. Safitri, BRG tidak melakukan restorasi di areal konsesi.

BRG sesuai mandat Perpres No. 1/2016, hanya memberikan supervisi atau asistensi teknis terhadap perusahaan. BRG kata Myrna, fokus pada asistensi di konsesi perkebunan bersama dengan Kementerian Pertanian dalam hal ini Direktorat Jenderal Perkebunan.

"Untuk pembinaan dan pengawasan pada konsesi kehutanan ada pada Kementerian LHK," ujar Myrna dihubungi Liputan6.com, Senin 2 Juni 2020.

Myrna menjelaskan, terdapat 1,7 juta hektare areal konsesi perusahaan di wilayah gambut rusak yang menjadi target restorasi. Dari areal tersebut, di antaranya 1,2 juta hektare berada di area konsesi kehutanan, dan 555 ribu hektare di konsesi perkebunan.

Dari 555 ribu hektare area konsesi perekebunan yang menjadi target restorasi itu, di antaranya 438 ribu atau 78,9 persen sudah disupervisi oleh BRG. "Terlibat 107 perusahaan dalam kegiatan supervisi ini, baik berupa bimbingan teknis (Bimtek) atau kunjungan langsung ke lapangan," ucap Myrna.

Untuk supervisi restorasi gambut perusahaan di Provinsi Jambi sendiri, Myrna bilang, telah dilakukan di perusahaan perkebunan seluas 38 ribu hektare dari target 39 ribu hektare. Realisasi supervisi mencapai 98 persen.

"Di Jambi ada tujuh perusahaan perkebunan yang sudah disupervisi, dan 11 perusahaan mengikuti Bimtek," ujar Myrna tanpa menyebut perusahaan apa saja yang telah disupervisi karena alasan masih menunggu kunjungan ulang semua.

Menurut Myrna, dari hasil supervisi yang dilakukan BRG hasilnya beragam. Secara umum belum semua perusahaan melaksanakan restorasi gambut dengan lengkap seperti mekanisme 3R yang telah ditetapkan pemerintah.

"Hasilnya ada yang sudah melakukan tapi belum selesai, ada yang sudah memperbaiki ketika kami kunjungi lagi, dan pula yang belum melakukan restorasi. Kami lakukan kunjungan kedua untuk melihat progres retsorasi," ujar Myrna.

Sesuai dengan hasil supervisi yang dilakukan BRG itu, menurut Myrna, masih perlu pembinaan dan pendampingan agar perusahaan mau beritikad baik menjalankan resotorasi gambut karena masih banyak perusahaan yang belum sempurna melaksanakan restorasi.

"Kemudian perlu pengawasan dan penegakan hukum lebih kepada yang tidak ada itikad baik. Terbukti dari yang masih belum merestorasi, tidak menjaga areal hingga terbakar, tidak melakukan pencegahan dan deteksi dini, atau yang asal-asalan melakukan restorasi," kata Myrna menjelaskan.

Sementara itu, ditanya perihal masih banyaknya perusahaan yang memonopoli air di lahan gambut karena perusahaan masih mengandalkan sekat timbun, termasuk mekanisme restorasi 3R lainnya tidak dilakukan oleh pemegang izin seperti yang terjadi di PT BBS, RKK, dan EWF. Myrna hanya menjawab singkat.

"Kami sudah meminta perusahaan memperbaiki," kata Myrna.

3 dari 4 halaman

Perlu Intervensi Gambut Dalam

Kondisi kebakaran di lahan gambut di area konsesi perkebunan sawit di Muaro Jambi tahun 2019. (Liputan6.com / Gresi Plasmanto)

Ketua Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Jambi, Dr Aswandi mengatakan, kawasan gambut adalah bentangan ekosistem yang unik dan menyatu dalam satu lanskap atau yang disebut kesatuan hidrologis gambut (KHG). Namun, hampir semua kawasan gambut dalam di Jambi telah dikuasi oleh industri monokultur, baik itu sektor kehutanan dan perkebunan kelapa sawit.

Sebab itu, industri yang mendapatkan hak konsesi di kawasan gambut mestinya masuk dalam pengawasan yang ketat dari BRG. Selain itu, diperlukan intervensi untuk penanganan gambut yang sudah rusak, terutama di kawasan gambut dalam.

"Saya berani katakan hampir semua industri HTI dan perkebunan yang ada di KHG itu Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) tidak layak. Itu diaudit kembali, kalau memang berada di gambut dalam maka harus ditutup, kalau enggak berani nutup ya enggak usah bicara restorasi, percuma," kata Aswandi kepada Liputan6.com.

Upaya yang dilakukan dalam program restorasi gambut selama ini menurut dia, baru sebatas tindakan kuratif. Seharusnya restorasi gambut harus dilakukan dengan preventif karena gambut sudah mengalami kerusakan parah sebelumnya. Sehingga, yang harus dilakukan adalah mencegah agar kerusakan gambut tidak semakin parah.

Terlebih sebagian besar gambut di Jambi sudah terdrainase (peat drainage). Dengan gambut yang telah dibuat kanal-kanal itu sehingga BRG kesulitan menyelesaikan restorasi gambut.

Kesulitan yang dialami BRG itu kata dia, terlihat dari project yang dilakukan BRG lebih cenderung bagaimana menyadarkan publik bahwa gambut penting untuk dilindungi. Mestinya, tindakan restorasi tidak bisa dilakukan satu lembaga saja.

"Ada banyak sektor yang banyak bermain di lahan gambut, sehingga ini menyulitkan BRG untuk menyelesaikan restorasi gambut yang diibaratkan sudah seperti benang kusut," kata dia.

Berdasarkan kajiannya, Aswandi menyebut, hampir semua gambut di Jambi telah dieksploitasi dengan dua tanaman monokultur, yaitu akasia dan sawit yang notabene rakus air. Mestinya untuk di lahan gambut ada tanaman pepohonan yang ramah terhadap gambut.

"Habis sudah potensi sumber daya alam, fungsi hidrologis dan eksositem gambut kita rusak. Jadi kasihan petani tidak bisa ngapa-ngapain lagi, kalau hujan sedikit banjir, kalau kemarau kering," ujar Aswandi.

Menurut Aswandi kehadiran BRG harus tetap dipertahankan, namun perannya harus harus lebih diperkuat. Sebab, selama ini program restorasi masih banyak yang belum beres, terutama untuk pengawasan di sektor kehutanan yang masih sangat lemah.

"Misalnya di perusahaan HTI, itu hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Tidak ada yang berani menembus melakukan pengawasan, jadi pemerintah hanya mengikuti pola industri saja, seharusnya pemerintah mengikuti pola pembangunan pertanian berkeberlanjutan," kata Aswandi.

4 dari 4 halaman

Kuantitas

Seorang anak mengenakan masker saat bermain di lokasi lahan perusahaan bekas kebakaran hutan di wilayah Kumpeh, Muaro Jambi. Foto diambil tahun 2019. (Liputan6.com / Gresi Plasmanto)

Direktur Ekesekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, Rudiansyah mengatakan, restorasi gambut di Jambi khususnya di area konsesi masih banyak tidak dilakukan pemegang izin. Hal itu menjadi problem karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak terbuka dengan data terkait dengan implementasi restorasi gambut.

"Restorasi di area konsesi perusahaan ini yang menjadi risiko berat oleh gambut sendiri, karena sampai sekarang belum terbuka sejauh mana implementasi restorasi di area konsesi," kata Rudi.

Menurut Rudi, data keberhasilan restorasi gambut yang dikeluarkan BRG maupun pemerintah masih baru sebatas kuantitas. Sedangkan untuk kualitas restorasi masih jauh dari harapan karena setiap tahun gambut masih mengalami kebakaran.

"Masih ada wilayah yang sama terbakar, dan itu terbakarnya berulang, berarti intervensi dan kualitas restorasinya tidak maksimal," kata dia.

Kewenangan supervisi yang diberikan oleh BRG lanjut Rudi, tidak maksimal karena supervisi tidak dibarengi dengan kewenangan eksekusi. Sehingga hal tersebut menjadi problem restorasi di kawasan yang telah dibebankan izin.

"Supervisi itu satu sisi kewenangan BRG untuk menyelamatkan diberikan, tapi kewenangan eksekusi tidak diberikan dan dibatasi. Ibaratnya kalau dalam bahasa Jambi kepala dimunculkan, tapi ekor dipegang, sama saja," ujar Rudi.

Senada dengan yang disampaikan Aswandi. Rudi menilai peran BRG mesti diperkuat dan diberikan kewenangan yang menyeluruh dalam merestorasi gambut, baik di area konsesi dan nonkonsesi.

"Kalau BRG masih ada sampai kedepannya, tapi kalau kewenangan yang diberikan tidak maksimal, sama saja mengulang lagi dari proses sebelumnya," demikian Rudi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya