FDA Setujui Chloroquine dan Hydroxychloroquine Sebagai Obat Darurat COVID-19

Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (FDA) menyetujui dua obat anti-malaria, chloroquine dan hydroxychloroquine sebagai obat darurat virus corona (Covid-19).

oleh Fitri Syarifah diperbarui 01 Apr 2020, 22:00 WIB
Viral obat malaria klorokuin bisa digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan Virus Corona baru (Covid19). Simak penelusurannya.

Liputan6.com, Jakarta Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (FDA) menyetujui dua obat anti-malaria, chloroquine dan hydroxychloroquine sebagai obat darurat virus corona (COVID-19).

Seperti dilansir Forbes, chloroquine dan hydroxychloroquine dapat diresepkan pada pasien dewasa maupun remaja yang dirawat di rumah sakit.

Department of Health and Human Services (HHS) melaporkan, perusahaan obat Sandoz, Jerman, telah memberikan 30 juta dosis hydroxychloroquine ke Strategic National Stockpile sebagai persediaan medis pemerintah untuk keadaan darurat kesehatan masyarakat, sementara Bayer telah menyumbangkan sejuta dosis chloroquine.

"Obat ini menawarkan beberapa manfaat dalam pengobatan pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit, dengan catatan diperlukan uji klinis untuk memberikan bukti ilmiah bahwa perawatan ini efektif," tulis HHS.

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kekeliruan Trump

Ilustrasi obat-obatan Credit: pexels.com/pixabay

Sebelumnya, Trump keliru mengklaim kalau FDA telah menyetujui obat tersebut untuk perawatan virus Corona. Akibatnya banyak pihak yang bingung tentang penggunaannya, sehingga beberapa orang Amerika mengganti obat tanpa resep, misalnya yang dilakukan seorang pria Arizona.

Ia membeli chloroquine phosphate, bahan kimia untuk membersihkan akuarium, yang pada akhirnya membunuhnya dan meninggalkan istrinya.

CDC memperingatkan larangan mengonsumsi chloroquine phosphate tanpa resep dan pantauan tenaga medis karena dampaknya bisa serius, termasuk kematian.

Para peneliti dan para dokter selalu berusaha keras mencari pengobatan yang efektif minim risiko dengan berbagai 'trial' and 'error'. Jika semudah itu seseorang menyatakan suatu obat efektif maka sudah sejak lama virus ini dapat dihentikan, atau bahkan tidak akan sampai menjadi pandemi.

"Ditambah ada yang tidak bertanggung jawab, menurut saya, menggunakan 'ekspresi' efektif saat belum ada bukti ilmiahnya. Ini sunguh rumit," ujar Dr. Kenneth Kaitin, direktur Tufts Center for the Study of Drug Development, kepada Forbes.

Sayangnya, Trump terus mengagungkan obat anti-malaria ini di setiap press nya. Bahkan Twitter telah menghapus tweet Rudy Giuliani, pengacara pribadi presiden, yang salah menginfokan, "hydroxychloroquine 100 persen efektif dalam mengobati COVID-19". Padahal ini belum ada buktinya dan bukan vaksin juga.

Di sisi lain, pernyataan ini juga membuat simpang siur bagi dokter yang sudah terlanjur menimbun obat hydroxychloroquine, yang dijual dengan nama merek Plaquenil. Hingga dewan farmasi di beberapa negara telah mengeluarkan aturan yang membatasi resep, termasuk Texas, Louisiana, Ohio dan North Carolina.

Para ilmuwan hanya berharap chloroquine dan hydroxychloroquine, obat yang sudah ada sejak berabad-abad lalu untuk mengobati malaria, lupus dan rheumatoid arthritis, bisa juga mengatasi COVID-19.

Namun studi terbaru memiliki bukti campuran keefektifannya dan obat tersebut bisa diikuti risiko seperti gangguan penglihatan atau serangan jantung.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya