Terapkan Sistem BRT Bakal Tekan Kemacetan di Surabaya?

Dari laporan ADB dengan kota paling macet di Asia dengan populasi lebih dari 5 juta, Surabaya berada di peringkat ke-20 dari 24 kota di Asia.

oleh Liputan Enam diperbarui 12 Jan 2020, 04:00 WIB
Kamera CCTV yang dipasang di sejumlah persimpangan jalan di Surabaya, Jawa Timur. (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Jakarta - Penerapan sistem bus transit rapid (BRT) dinilai salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi macet di Surabaya, Jawa Timur. Surabaya, termasuk salah satu kota termacet di Asia, berdasarkan laporan Asia Development Bank (ADB) dengan judul ADB 2019 Update:Fostering Growth and Inclusion in Asia’s Cities.

Dari laporan ADB tersebut dengan kota  paling macet di Asia dengan populasi lebih dari 5 juta, Surabaya berada di peringkat ke-20 dari 24 kota di Asia.

Memang peringkat Surabaya masih di bawah Bandung dan Jakarta yang termasuk kota termacet di Asia. Bandung berada di posisi 14 dan Jakarta di posisi 17.

Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja menilai, Surabaya, Jawa Timur sudah seharusnya membuat sistem transportasi publik sejak 10 tahun lalu. Salah satunya dengan bus rapid transit (BRT). Sistem ini menurut Elisa cocok dengan kondisi Surabaya. Apalagi karakter Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma) yang tegas dapat turut mendukung sistem BRT di Surabaya.

"Kenapa tidak pilih opsi yang agak terjangkau yaitu BRT. Kalau BRT seperti Trans Jakarta, bu Risma harus berani memakai jalur pribadi. Saya melihat karakter Bu Risma cocok sebenarnya. Agak mengingatkan saya kepada sosok Sutiyoso waktu dia pertama kali mengumumkan mulai BRT,seharusnya Bu Risma berhasil di BRT,” ujar Elisa saat berbincang dengan Liputan6.com, Jumat, 10 Januari 2020.

Ia menilai, membangun sistem BRT lebih terjangkau ketimbang menerapkan light rail transit (LRT) dan mass rapid transit (MRT). Ini melihat pembangunan MRT yang diterapkan di Jakarta perlu menunggu 20 tahun. Sementara itu, pembangunan sistem BRT dinilai lebih cepat dilakukan.

"Semua yang berbasis rel itu selalu lebih mahal. Dan mahalnya bisa berkali-kali lipat, bukan dua kali tapi sampai 10 kali lipat. Jadi ilustrasi sederhananya MRT itu Rp 10 triliun, sementara kalau bikin Rp 10 triliun cuma 10 KM, berarti 1 KM sebesar Rp 1 triliun," tutur dia.

Lebih lanjut ia menuturkan, kalau menerapkan sistem bus Transjakarta, sekitar Rp 100 miliar per km untuk 10 kali. “Dalam kasus tertentu bisa 80 M per KM sudah sama bus, halte dan lainnya. Sudah tidak bangun jalan lagi dan itu bisa besok mulai pembangunannya,” ujar dia.

Oleh karena itu, ia tidak menyarankan LRT dan MRT karena mahal dan memakan waktu lama. Elisa menilai, Surabaya dapat mengadopsi jalur khusus bus seperti di jalan Sudirman-Thamrin Jakarta.

"Saya menyarankan lebih cenderung BRT. Asal tega makai jalan kendaraan pribadi dan terima omelan. Bikin jalur khusus, Sudirman dan Thamrin (Jakarta-red) ada jalur khusus, tapi tidak usah buat jalur layang atau apa,” tutur dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Buat Jalur Khusus

Pemindahan utilitas di bawah Jalan Yos Sudarso, Surabaya, Jawa Timur (Foto:Liputan6.com/Dian Kuarniawan)

Selain itu, sistem BRT juga dapat dilakukan dengan menerapkan informasi mengenai lokasi bus. Ini bisa dengan memakai aplikasi dan lewat layar informasi di haltenya.

Adapun terkait penerapan Suroboyo Bus yang pembayarannya memakai botol plastik, Elisa menilai sistem itu tidak efektif.

"Sistemnya saja tukar sampah plastik. Itu sudah tidak memenuhi syarat transportasi umum yang mempermudah integrasi pembayaran. Ada syarat-syaratnya dari masalah pembayaran, pemberhentian, durasi, dan ada kenapa dia layak disebut sebagai transportasi umum,” ujar dia.

 

 

(Shafa Tasha Fadhila - Mahasiswa PNJ)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya