Mengenal Tradisi Grebeg Maulid di Surabaya

Untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, ada sejumlah tradisi yang dilakukan di masing-masing daerah termasuk di Surabaya, Jawa Timur.

oleh Agustina Melani diperbarui 09 Nov 2019, 08:00 WIB
Ratusan warga berebut mendapatkan segala isi dari enam Gunungan Grebeg Mulud di halaman Masjid Agung, Surakarta, Kamis (24/12). Keluarnya gunungan menandai puncak acara Sekaten yang digelar untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad. (Boy Harjanto)

Liputan6.com, Jakarta - Setiap tahun, umat Muslim memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad. Perayaan ini juga dikenal dengan Maulid Nabi SAW.  Untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, ada sejumlah tradisi yang dilakukan di masing-masing daerah termasuk di Surabaya, Jawa Timur.

Mengutip instagram @lovesuroboyo, pada Jumat 8 November 2019, masyarakat di Surabaya menggelar Kirab Maulid untuk peringati Maulid Nabi. Tepatnya di Kampung Nambangan, Cumpat Kenjeran. Kirab Maulid digelar mulai Kampung Nambangan Masjid Al Mabrur hingga Taman Suroboyo.

Selain itu, salah satu tradisi merayakan Maulid Nabi di Surabaya yaitu tradisi Grebeg Maulud. Budayawan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Kukuh Yudha Karnanta menuturkan, tradisi Grebeg merupakan salah satu warisan budaya sejak zaman para wali terutama diinisiasi oleh Sunan Kalijaga.

Ketika itu, tradisi tersebut sebagai salah satu syiar agama Islam. Tradisi ini merupakan ritual perayaan Maulid Nabi berangkat dari narasi besar kemurahan hati dan memberi sesuatu untuk kebahagiaan bersama.

Kukuh menuturkan, tradisi Grebeg bertahan hingga kini dengan bentuk beragam. Ini bisa dengan Topeng Maulud, membuat gunungan, dan khitanan massal.  Kini fungsinya bukan hanya syiar Islam, tetapi juga simbol interaksi antara raja dan rakyat yang ditunjukkan dengan gunungan-gunungan yang terbuat dari makanan berasal dari buah-buahan, nasi, dan hasil panen. Kemudian diberikan kepada rakyat yang hadir untuk acara tersebut.

"Tak jarang warga berebut isi gunungan tersebut karena percaya bahwa gunungan tersebut membawa dan memiliki berkah tersendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa figur sultan sebagai pemimpin cultural masyarakat Jawa masih sangat dihormati,” kata dia, saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (9/11/2019).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Selanjutnya

Dengan tradisi ini, menurut Kukuh, menunjukkan sikap egalitarian, inklusivitas, toleran dan kegembiraan. Apalagi tradisi ini biasa ada parade, karnaval dengan para pesertanya memakai baju daerah dan surban. Yang menarik, Kukuh menuturkan, tradisi ini juga tidak hanya dirayakan umat Muslim tetapi juga non Muslim. Seperti yang dilakukan di Malang, Jawa Timur.

"Jadi sebenarnya Maulid bisa dimaknai sebagai ritual untuk toleransi dan saling merayakan perbedaan. Agama dipratikkan dengan kegembiraan dan kebersamaan bahkan dengan bukan yang seagama sekalipun,” ujar Kukuh.

Ia menambahkan,kalau  tradisi Grebeg di Surabaya biasa diadakan di Surabaya Barat. "Ini kental kultur NU. Di Manukan, Sememi, Pakal, Made, dan Lakarsantri,” kata dia.

Sementara itu, Ketua Komunitas Surabaya Taufiq Monyong mengatakan, di masing-masing daerah, masyarakat berbeda-beda menerapkan tradisi itu dilihat dari wilayah pesisiran, agraris dan pegunungan. Oleh karena itu, ada yang bentuknya gunungan, tumpeng, topeng Maulud dan lainnya. Meski demikian, Taufiq menuturkan, tradisi memperingati Maulid Nabi itu mengingatkan untuk meninggalkan sifat-sifat buruk atau meminimalkan sehingga menjadi sosok lebih baik.

                                                                     

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya