Kronologi Tsunami Selat Sunda versi BMKG

Erupsi Gunung Anak Krakatau yang memicu longsor lereng gunung seluas 64 hektare memicu tsunami Selat Sunda.

oleh Liputan6dotcom diperbarui 27 Okt 2020, 11:34 WIB
Sejumlah kapal nelayan yang terdampar pasca gelombang Tsunami Selat Sunda di Dusun Tiga Regahan Lada, Pulau Sebesi, Lampung Selatan, Minggu (30/12). Sebagian warga mengungsi ke Kalianda. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Rahmat Triyono mengungkap secara detail proses terjadinya tsunami Selat Sunda yang melanda pesisir pantai Banten dan Lampung pada Sabtu(22/12) malam.

Rahmat menyebutkan pada Jumat(21/12/2018) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah mendeteksi adanya aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau Lampung.

Dengan tinggi kolom abu teramati kurang lebih 400 meter di atas puncak dan 738 meter di atas permukaan laut, kolom abu teramati berwarna hitam dengan intensitas tebal condong ke arah utara, dan pada saat itu Gunung Anak Krakatau berada pada status level II (waspada).

"Sebelumnya kami telah memberikan peringatan dini gelombang tinggi yang berlaku 22 Desember 2018 pukul 07.00 WIB hingga 25 Desember 2018 pukul 07.00 WIB di wilayah perairan Selat Sunda dengan ketinggian 1,5-2,5 meter," ujar Rahmat, dilansir Antara, Senin (31/12/2018).

Kemudian pada Sabtu (22/12/2018) pukul 20.56 WIB terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau yang memicu longsor lereng gunung seluas 64 hektare, dan pada pukul 21.03 WIB tercatat di sensor seismograph BMKG di Cigeulis Pandeglang (CGJ) dan beberapa sensor di wilayah Banten serta Lampung.

Namun sistem prosesing otomatis gempa BMKG tidak memproses secara otomatis karena signal getaran yang tercatat bukan merupakan signal gempa bumi tektonik. Sistem Peringatan dini tsunami yang dimiliki BMKG saat ini hanya untuk tsunami yang disebabkan gempa bumi tektonik.

Sedangkan tsunami yang melanda Selat Sunda adalah akibat aktivitas vulkanik sehingga saat ada aktivitas vulkanik di Gunung Anak Krakatau, sistem peringatan dini tsunami tidak mampu memproses secara otomatis adanya aktivitas vulkanik sehingga tidak memberikan 'warning' tsunami, ujar Rahmat.

Di samping itu, BMKG tidak melakukan monitoring aktivitas Gunung Anak Krakatau dan gunung api lainnya, monitoring dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementrian ESDM.

Lalu pada pukul 21.30 WIB petugas Pusat Gempa bumi dan Tsunami BMKG mendapat laporan kepanikan masyarakat di wilayah Banten dan Lampung karena air laut pasang yang tidak normal. BMKG langsung melakukan checking marigram Tide Gauge Badan Informasi Geospasial (BIG).

Dari hasil pengecekan tersebut, terindikasi tercatat perubahan permukaan air laut di beberapa wilayah seperti di Pantai Jambu, Bulakan, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang tercatat pukul 21.27 WIB ketinggian air mencapai 0,9 meter.

Di pelabuhan Ciwandan, Kecamatan Ciwandan Banten tercatat pukul 21.33 WIB dengan ketinggian 0.35 meter, di Kota Agung Kecamatan, Kota Agung, Lampung tercatat pukul 21.35 WIB dengan ketinggian 0.36 meter, dan di Pelabuhan panjang Kecamatan Kota Bandar Lampung tercatat pukul 21.53 WIB dengan ketinggian 0.28 meter. Melihat dari hasil catatan marigran, tide gauge BIG tersebut diyakini bahwa ini merupakan gelombang tsunami, selanjutnya pada pukul 22.30 WIB, BMKG segera mengeluarkan pernyataan media telah terjadi tsunami melanda Banten dan Lampung tidak dipicu oleh Gempa bumi tektonik.

Setelah itu, pada Sabtu (22/12) BMKG menyampaikan telah terjadi tsunami yang melanda Banten dan Lampung dan bukan disebabkan oleh gempa bumi tektonik, dan pada Minggu (23/12) Pukul 14.40 WIB BMKG memastikan bahwa pusat getaran ada di gunung Anak Krakatau, 115,46 BT- 6.10 LS, kedalaman 1 km, Getaran tersebut setara dengan kekuatan magnitudo 3,4.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya