Kisah Maling Sakti di Kediri, Kepala dan Jasad Dimakamkan Terpisah

Mbah Boncolono selalu mendermakan hartanya yang didapat dari kolonial Belanda untuk diberikan kepada rakyat miskin. Karena sepak terjangnya itulah, masyarakat menyebutnya dengan nama panggilan Maling Gentiri.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 15 Okt 2018, 03:06 WIB
Makam Mbah Boncolono (Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Kediri - Mbah Boncolono menjadi salah satu tokoh legenda di Kediri, Jawa Timur. Ia memiliki kesaktian dan ilmunya tersebut dipergunakan untuk menolong kaum lemah pada masa penjajahan Belanda dulu.

Mbah Boncolono selalu mendermakan hartanya yang didapat dari kolonial Belanda untuk diberikan kepada rakyat miskin. Karena sepak terjangnya itulah, masyarakat menyebutnya dengan nama panggilan Maling Gentiri.

"Bagi warga lokal Kediri dia adalah pahlawan. Ini, kan, cerita turun-temurun masyarakat yang diyakini kebenarannya pada masa penjajahan Belanda dulu," tutur Nur Muhyar, Kepala Disbudparpora Kota Kediri, Minggu (14/10/2018).

Tidak jelas pada periode tahun berapa Mbah Boncolono tewas di tangan Belanda. Dalam cerita rakyat, Mbah Boncolono tewas terbunuh dengan kepala terpenggal. Selanjutnya tubuh dan kepalanya pun dikuburkan secara terpisah.

Bagian kepala dimakamkan di lingkungan Ringin Sirah, lokasinya yang sekarang terletak di pusat kota, di belakang gedung pusat perbelanjaan. Persisnya di perempatan jalan, antara Jalan Hayam Wuruk - Jalan Joyo Boyo Kota Kediri.

Pengambilan nama Ringin Sirah karena lokasinya terdapat pohon ringin berdiri kokoh begitu besar, serta istilah sirah dalam bahasa Jawa artinya kepala. Konon diyakini cerita dari turun temurun kepala Mbah Boncolono dikubur di sana.

Sementara untuk jasad tubuhnya disemayamkan di dataran tinggi, tepatnya di atas bukit (Gunung Mas Kumambang). Lokasinya masuk ke dalam kawasan wisata Selomangkleng.

Konon kisahnya untuk mengalahkan kesaktian Maling Gentiri, tubuhnya harus dipisahkan. Sebab, jika tidak Maling Gentiri itu dipercaya akan hidup kembali. Meski begitu, Mbah Boncolono dianggap gugur sebagai kesatria dalam membela rakyat kecil. Khususnya di Kediri.

 

2 dari 2 halaman

Cagar Budaya

Cagar budaya makam Mbah Boncolono (Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Makam Mbah Boncolo masuk dalam kategori situs cagar budaya. Makamnya yang berada di kawasan lokasi wisata Selomangkleng, hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki menuju ke atas, hingga beberapa kilometer.

Tempat pemakamanya dinamakan Astana Boncolono. Di Astana Boncolono ada tiga makam yang disemayamkan di sana selain Mbah Boncolo. Dua di antaranya adalah jasad Tumenggung Mojoroto dan Poncolono. "Mereka ini bertiga saudara seperguruan," kata Nur Muhyar.

Nur Muhyar menambahkan bahwa keturunan dari Mbah Boncolono sampai sekarang masih ada dan tinggal menetap di Jakarta. "Keturunannya masih ada. Namanya Japto S Soerjosoemarno SH tinggal di Jakarta," ucapnya.

Pada tangal 10 September 2004, pihak keluarga besar Boncolo dan seluruh keturunannya telah bekerja sama dengan Pemerintah Kota Kediri, merenovasi Astana Boncolono dan Tumenggung Mojoroto di kawasan wisata Selomangkleng, Kota Kediri.

Pihak keluarga besar Boncolono menyerahkan seluruh bangunan dan fasilitas pendukungnya untuk diresmikan dan dikelola Pemerintah Kota Kediri dalam rangka melestarikan budaya nasional dan menambah aset pariwisata Kediri.

Untuk dapat memudahkan pengunjung yang ziarah ke Astana Boncolono, jalan yang dilalui dibuat seperti layaknya tangga berundak. Jika dihitung jalan tangga berundak tersebut berjumlah kurang lebih 473 tangga.

"Banyak yang datang ke sini, terutama pada hari Kamis malam Jumat, baik laki-laki maupun perempuan. Ya, sekadar untuk berdoa di sana, kadang sore maupun malam hari," ujar Mbah Darno (56), salah satu pemilik warung kopi yang lokasinya berada tepat di bawah Astana Boncolono di kawasan Wisata Selomangkleng.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya