PBB: 60 Bayi Rohingya Lahir Setiap Hari di Kamp Pengungsi

Mayoritas bayi pengungsi Rohingnya lahir dalam kondisi yang memprihatinkan di kamp-kamp penampungan.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 18 Mei 2018, 10:09 WIB
Sebuah perahu yang membawa pengungsi Rohingya berhasil dicegat pasukan AL Malaysia di Langkawi, Selasa (3/4). Otoritas Malaysia meningkatkan patroli untuk mencegat kapal pengungsi Rohingya mencari perlindungan di negara itu. (Royal Malaysian Navy via AP)

Liputan6.com, Naypyidaw - Sembilan bulan sejak puncak kekerasan militer di wilayah barat Myanmar, yang memaksa ratusan ribu Muslim Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh, sekitar 60 bayi dilaporkan lahir setiap hari di kamp-kamp pengungsi.

Lembaga anak-anak PBB, UNICEF, mengungkap fakta di atas pada Rabu, 16 Mei 2018, seraya menyebut lebih dari 16.000 bayi Rohingya lahir di Bangladesh, sejak kekerasan terjadi di negara bagian Rakhine pada Agustus tahun lalu.

"Sekitar 60 bayi lahir dalam kondisi yang memprihatinkan setiap harinya, mulai dari situasi yang tidak kondusif, kemiskinan, hingga trauma kekerasan yang dialami oleh orang tuanya," ujar Edouard Beigbeder, seorang perwakilan UNICEF di Bangladesh.

Dikutip dari Time.com pada Kamis (17/5/2018). Diperkirakan sebanyak 693.000 orang warga Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan, sejak militer Myanmar mulai melakukan pembalasan terhadap serangan-serangan pemberontak, yang dituduhkan oleh pasukan keamanan negara.

Menurut Amerika Serikat (AS), ada sekitar 905.000 orang pengungsi Rohingya di Bangladesh hingga April lalu, di mana beberapa di antaranya melarikan diri dari kekerasan yang dialami sebelumnya.

Rohingya adalah kelompok minoritas Muslim, dengan jumlah penduduk diperkirakan sekitar 1,1 juta jiwa -- sebagian besar hidup tanpa kewarganegaraan.

Laporan pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya meluas setelah kekerasan pada Agustus 2017, seperti pembunuhan di luar proses hukum dan pembakaran seluruh desa.

Pemerintah AS dan Inggris menggambarkan kekerasan terhadap masyarakat Rohingnya sebagai kampanye "pembersihan etnis", namun hal itu terus menerus disangkal oleh pemerintah Myanmar.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch dan Fortify Rights, telah mendesak Dewan Keamanan PBB untuk merujuk situasi di Rohingya tersebut ke Pengadilan Pidana Internasional.

Tujuannya adalah untuk menyelidiki, dan mungkin mencari, penuntutan atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berisiko ke arah genosida.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Memilih Tidak Mencari Dukungan

Seorang pengungsi Rohingya menaiki tangga di perbukitan yang berada di Kamp Pengungsi Kutupalong, Bangladesh, 28 April 2018. Bangunan-bangunan pengungsian berdiri di atas tanah berlumpur yang sangat minim pepohonan. (AP Photo / A.M. Ahad)

UNICEF mengatakan bahwa wanita dan anak-anak yang selamat dari kekerasan seksual, adalah yang paling rentan dan terpinggirkan dalam komunitas pengungsi di Cox's Bazar, sebuah distrik di Bangladesh bagian tenggara.

Menghadapi stigma dan risiko kekerasan tambahan, banyak wanita dan anak gadis diperkirakan memilih tidak mencari dukungan dan perawatan medis yang mereka butuhkan.

Ditambahkan oleh UNICEF, hanya sekitar 1 dari 5 bayi yang lahir di kamp-kamp pengungsi sejak September lalu, dikirim ke fasilitas medis.

Untuk itu, menggendeng beberapa lembaga kemanusiaan, UNICEF melakukan advokasi untuk pencatatan kelahiran. Kerjasama tersebut telah memobilisasi hampir 250 sukarelawan masyarakat untuk membantu memastikan wanita dan anak mendapat hak perawatan medis.

"Tidak mungkin mengetahui jumlah sebenarnya bayi yang telah, atau akan dilahirkan, sebagai akibat dari kekerasan seksual," kata Beigbeder.

"Tetapi sangat penting bahwa setiap wanita hamil, ibu baru, dan setiap bayi lahir menerima semua bantuan dan dukungan yang mereka butuhkan."

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya